Teenage Mutant Ninja Turtles yang
diciptakan oleh Peter Laird dan Kevin Eastman di tahun 1983 telah
berulang kali hadir dalam medium yang berbeda-beda, terutama film,
kartun, dan komik. Tahun ini, “Teenage Mutant Ninja Turtles” (2014)
sebagai film reboot berusaha untuk mengembalikan sosok para kura-kura
ninja ini ke permukaan dengan kisah awalan baru. Dengan rating PG-13 dan
humor yang melimpah, “Teenage Mutant Ninja Turtles” ingin mencoba untuk
memenuhi ekspektasi penonton dari rentang usia yang luas.
Sayangnya, dalam usahanya untuk mengemas diri sebagai tontonan untuk seluruh anggota keluarga, film ini justru berakhir sebagai tontonan yang tanggung. Tidak cukup cerdas untuk memuaskan penonton dewasa yang sebagian juga merupakan penggemar para karakter ini sejak kanak-kanak, tetapi juga tidak cukup mudah dipahami oleh penonton yang masih kecil. Hasil akhirnya, “Teenage Mutant Ninja Turtles” menjadi tontonan tanggung dengan kisah derivatif yang mudah dilupakan.
Dalam film baru ini, diceritakan bahwa New York yang dirongrong tingkat kejahatan tinggi berada di bawah teror Shredder dan organisasi kriminal Foot Clan. Seorang reporter bernama April O’Neil mencoba untuk menguak berita besar yang melibatkan Foot Clan dan pencurian bahan-bahan kimia berbahaya.
Ketika April menyaksikan aksi Foot Clan digagalkan oleh sosok-sosok misterius, ia pun mengikuti petunjuk yang ada dan menemukan bahwa empat kura-kura mutan bernama Leonardo, Raphael, Michelangelo, dan Donatello, bersama guru mereka, seekor tikus mutan bernama Splinter, merupakan pahlawan yang selama ini diam-diam membantu menghentikan tindak kejahatan di kota New York.
Menyadari bahwa Shredder dan Foot Clan memiliki rencana keji yang akan mengancam kehidupan warga kota, April dan para kura-kura ninja ini kemudian harus melawan Shredder sebelum semuanya terlambat.
Keempat sosok kura-kura ninja yang sudah sangat dikenal oleh banyak penggemarnya ini mengalami sedikit pembaruan sesusai dengan kemajuan jaman, seperti Donatello yang dalam film ini menjadi tech geek dan mampu melakukan banyak hal dengan mengandalkan berbagai gadget canggih. Selera humor yang selalu melekat dengan para pahlawan mutan ini tidak dilupakan, disampaikan melalui dialog-dialog yang diluncurkan oleh Michelangelo sebagai comic relief. Tak lupa, para kura-kura pecinta pizza ini juga banyak melontarkan humor referensi yang berasal dari budaya pop, sesuatu yang lumayan lucu bagi mereka yang memahaminya.
Untuk menghidupkan keempat pahlawan ini dan juga Splinter dalam versi live action, Industrial Light & Magic menggunakan teknologi motion capture untuk membuat gerakan mereka terlihat natural. Dengan menggunakan koreografi perkelahian dari para penampil yang ahli bela diri dan bisa parkour, gerakan yang dihasilkan memang terlihat lebih halus. Secara visual, penampakan para karakter ini juga terlihat lebih organik, meski teksturnya yang photo realistic mungkin bisa membuat penonton yang masih terlalu kecil takut untuk menyaksikan kura-kura dan tikus mutan berukuran besar ini.
Poin yang membuat “Teenage Mutant Ninja Turtles” masih cukup menghibur untuk sebagian orang adalah adegan aksinya. Bagi mereka yang suka aksi bertempo cepat dan dinamis, adegan perkelahian para kura-kura ninja ini cukup seru untuk disimak. Set piece besar yang ada di pertengahan film juga memberikan poin plus karena tingkat perencanaannya yang nampak rumit. Meski demikian, dengan editing yang cepat, kadang-kadang detail yang ada tidak sepenuhnya dapat dinikmati karena adegan yang ada begitu cepat berganti.
Secara keseluruhan, bila Anda tidak mengharapkan sebuah tontonan serius dan hanya ingin bernostalgia, “Teenage Mutant Ninja Turtles” bisa dijadikan pilihan. Tetapi, ceritanya yang biasa saja dan terkadang mengingatkan Anda pada film-film terkenal lain membuat aksi para kura-kura ninja ini jadi mudah dilupakan. Untungnya, dengan durasi yang hanya 101 menit, “Teenage Mutant Ninja Turtles” hadir dalam porsi pas sehingga ceritanya tidak bertele-tele. Tentu saja, keputusan untuk menontonnya atau tidak berada sepenuhnya di tangan Anda. Kalau Anda memilih untuk tinggal di rumah saja sambil makan pizza dan menonton kartun lawasnya, itu pun tidak apa-apa.
Sumber,
Sayangnya, dalam usahanya untuk mengemas diri sebagai tontonan untuk seluruh anggota keluarga, film ini justru berakhir sebagai tontonan yang tanggung. Tidak cukup cerdas untuk memuaskan penonton dewasa yang sebagian juga merupakan penggemar para karakter ini sejak kanak-kanak, tetapi juga tidak cukup mudah dipahami oleh penonton yang masih kecil. Hasil akhirnya, “Teenage Mutant Ninja Turtles” menjadi tontonan tanggung dengan kisah derivatif yang mudah dilupakan.
Dalam film baru ini, diceritakan bahwa New York yang dirongrong tingkat kejahatan tinggi berada di bawah teror Shredder dan organisasi kriminal Foot Clan. Seorang reporter bernama April O’Neil mencoba untuk menguak berita besar yang melibatkan Foot Clan dan pencurian bahan-bahan kimia berbahaya.
Ketika April menyaksikan aksi Foot Clan digagalkan oleh sosok-sosok misterius, ia pun mengikuti petunjuk yang ada dan menemukan bahwa empat kura-kura mutan bernama Leonardo, Raphael, Michelangelo, dan Donatello, bersama guru mereka, seekor tikus mutan bernama Splinter, merupakan pahlawan yang selama ini diam-diam membantu menghentikan tindak kejahatan di kota New York.
Menyadari bahwa Shredder dan Foot Clan memiliki rencana keji yang akan mengancam kehidupan warga kota, April dan para kura-kura ninja ini kemudian harus melawan Shredder sebelum semuanya terlambat.
Keempat sosok kura-kura ninja yang sudah sangat dikenal oleh banyak penggemarnya ini mengalami sedikit pembaruan sesusai dengan kemajuan jaman, seperti Donatello yang dalam film ini menjadi tech geek dan mampu melakukan banyak hal dengan mengandalkan berbagai gadget canggih. Selera humor yang selalu melekat dengan para pahlawan mutan ini tidak dilupakan, disampaikan melalui dialog-dialog yang diluncurkan oleh Michelangelo sebagai comic relief. Tak lupa, para kura-kura pecinta pizza ini juga banyak melontarkan humor referensi yang berasal dari budaya pop, sesuatu yang lumayan lucu bagi mereka yang memahaminya.
Untuk menghidupkan keempat pahlawan ini dan juga Splinter dalam versi live action, Industrial Light & Magic menggunakan teknologi motion capture untuk membuat gerakan mereka terlihat natural. Dengan menggunakan koreografi perkelahian dari para penampil yang ahli bela diri dan bisa parkour, gerakan yang dihasilkan memang terlihat lebih halus. Secara visual, penampakan para karakter ini juga terlihat lebih organik, meski teksturnya yang photo realistic mungkin bisa membuat penonton yang masih terlalu kecil takut untuk menyaksikan kura-kura dan tikus mutan berukuran besar ini.
Poin yang membuat “Teenage Mutant Ninja Turtles” masih cukup menghibur untuk sebagian orang adalah adegan aksinya. Bagi mereka yang suka aksi bertempo cepat dan dinamis, adegan perkelahian para kura-kura ninja ini cukup seru untuk disimak. Set piece besar yang ada di pertengahan film juga memberikan poin plus karena tingkat perencanaannya yang nampak rumit. Meski demikian, dengan editing yang cepat, kadang-kadang detail yang ada tidak sepenuhnya dapat dinikmati karena adegan yang ada begitu cepat berganti.
Secara keseluruhan, bila Anda tidak mengharapkan sebuah tontonan serius dan hanya ingin bernostalgia, “Teenage Mutant Ninja Turtles” bisa dijadikan pilihan. Tetapi, ceritanya yang biasa saja dan terkadang mengingatkan Anda pada film-film terkenal lain membuat aksi para kura-kura ninja ini jadi mudah dilupakan. Untungnya, dengan durasi yang hanya 101 menit, “Teenage Mutant Ninja Turtles” hadir dalam porsi pas sehingga ceritanya tidak bertele-tele. Tentu saja, keputusan untuk menontonnya atau tidak berada sepenuhnya di tangan Anda. Kalau Anda memilih untuk tinggal di rumah saja sambil makan pizza dan menonton kartun lawasnya, itu pun tidak apa-apa.
Sumber,
LINK DOWNLOAD
ALTERNATIVE
SUBTITLE
COMING SOON
No comments:
Post a Comment