Saturday, April 30, 2016

Batman v Superman: Dawn of Justice (2016) HDTC + Subtitle Indonesia

Batman v Superman: Dawn of Justice (2016) HDTC + Subtitle Indonesia

 batman-vs-superman-6-post.jpg

 

Warner Bros. (akhirnya) memulai shared fictional universe DC Extended Universe di tahun 2013 lewat film Superman dengan judul Man of Steel, sedangkan kompetitor mereka, You-Know-Who, memulai “dunia” milik mereka di tahun 2008 dan tahun ini akan merilis film yang ke-14. DC mencoba mengejar dengan menjadikan film ini sebagai reboot Batman, sekuel Superman, perkenalan musuh besar, dan perkenalan superhero baru. Usaha yang ingin “cepat” tadi memang menghasilkan presentasi yang terasa jam-packed namun di sisi lain Batman v Superman: Dawn of Justice berhasil mencapai tujuan utama mereka: menjadi sebuah kata pengantar yang oke bagi DC Extended Universe. The greatest gladiator match in the history of the world?

Pertarungan destruktif antara dirinya dengan General Zod (Michael Shannon) menyebabkan Superman (Henry Cavill) kini harus menyandang status sebagai tokoh kontroversial di Metropolis. Tidak hanya masyarakat Metropolis yang marah pada Superman namun juga Bruce Wayne (Ben Affleck) mulai berusaha menemukan kelemahan Superman ketika ia beroperasi sebagai pahlawan kegelapan di Gotham City sebagai Batman. Bruce Wayne menilai bahwa Superman harus dihukum akibat pertarungannya dengan General Zod memakan banyak korban jiwa. Lex Luthor (Jesse Eisenberg), seorang pengusaha kaya ini juga berpikiran serupa dan tidak hanya sekedar mencoba untuk “menekan” Senator June Finch (Holly Hunter) namun sembari mendorong rencana lain miliknya yang lebih mematikan terkait kryptonite dan Zod.

Sejak pertama kali memperkenalkan dirinya film Batman v Superman sudah harus menghadapi track yang begitu mendaki, dari berbagai “lelucon” hingga sikap pesimis dari calon penontonnya. Memang Man of Steel menciptakan "dampak" yang cukup kuat sebagai pembuka DC Extended Universe namun satu hal yang harus diingat seperti yang disinggung di awal tadi bahwa DC Extended Universe baru memulai dunia mereka, ini adalah film kedua mereka. Yang menjadi masalah adalah di balik potensi dari karakter-karakter besar yang mereka punya DC tampak masih bingung pada cara memulai “kerajaan” mereka, ibarat konstruksi mereka belum menemukan pondasi yang bukan hanya kuat namun juga “tepat” untuk membangun konstruksi di atasnya. Alhasil dengan memiliki Batman dan Superman dalam satu film sebuah pertarungan gladiator terbesar dalam sejarah justru berakhir kurang maksimal.

Batman v Superman: Dawn of Justice seperti dipaksa untuk berlari kencang demi mengejar rival yang sudah berada jauh di depan. Won’t say ini sebuah sajian yang super buruk namun dengan segala macam kompleksitas yang ia punya dilengkapi pertarungan intens di bagian akhir film ini meninggalkan rasa yang sedikit unik, sebuah rasa ketika manis, pahit, hingga asam saling bercampur dan tidak ada satupun dari mereka yang terasa tajam. Jika Batman v Superman: Dawn of Justice ingin menghadirkan pendekatan yang lebih gelap dari apa yang dilakukan You-Know-Who seharusnya penonton bukan sekedar dicengkeram saja tapi diberi ketukan yang tepat, dari segi cerita dan daya tarik. Semangat film ini tinggi tapi daya tarik dan pesona cerita tidak stabil, bicara motivasi karakter ia minim sisi ketegangan dramatis juga terasa kurang nendang, dan itu hal yang salah karena sesungguhnya DC juga punya tugas lain yang tidak kalah pentingnya: mendapatkan penggemar baru.

Pendekatan “gelap” yang DC coba lakukan bukan sesuatu yang salah tapi mengapa mereka berakhir tidak maksimal karena tidak ada eksekusi yang tegas di dalamnya. Batman, Superman, hingga Wonder Woman, mereka tenggelam di dalam skenario yang terlalu sibuk membangun benang merah masalah karena tugas yang sejak awal memang sudah begitu banyak, usaha membedah superhero dengan menggunakan latar belakang yang suram sembari menampilkan misteri dari penjahat utama yang telah menanti di depan. Pada akhirnya memang berbagai masalah beserta keterkaitannya satu sama lain menjadi clear tapi ada rasa inkoherensi di dalamnya, disjointed dan meninggalkan makna yang kurang menarik. Bukan, bukan pada bagaimana hal super rumit diselesaikan dengan satu nama namun akibat Zack Snyder yang tidak mampu menciptakan rasa peduli yang kuat dari penonton terhadap karakter utama, sudah begitu di awal penonton disuruh memilih pula.

Di tangan Zack Snyder film ini tampil seperti sebuah presentasi bisnis, penonton hanya menyaksikan penggambaran tentang sebab dan akibat tanpa dirangkul untuk seolah ikut terlibat di dalam kepentingan yang dibawa oleh cerita. Script yang ditulis oleh Chris Terrio dan David S. Goyer memang tidak dapat dikatakan kuat pula, cerita tidak pernah mampu menjelaskan mengapa pertikaian antara Batman dan Superman tampak seperti sebuah masalah yang besar, perlahan hanya terasa seperti adu domba dari Lex Luthor. Cara Zack Snyder mengolah materi yang jadi kendala utama bagi Batman v Superman: Dawn of Justice untuk bersinar terang. Dari sinopsis yang menarik Snyder tidak menunggu lama, dengan cepat membangun motivasi lalu mengutak-atik cerita untuk menciptakan panggung perebutan gelar terbaik antara Batman dan Superman. Celakanya arah masalah tidak hanya dua, ada empat malah mungkin lebih, dan dari sana Snyder mulai tenggelam dalam ambisinya.

Ketika konflik mulai terasa kusut akibat editing yang lemah Snyder kembali gunakan kegemarannya pada kebisingan dan menghancurkan hal-hal untuk menyelesaikan masalah. Zack Snyder memang punya visi yang bagus dalam hal teknis dan harus diakui Batman v Superman: Dawn of Justice punya beberapa action sequence yang menonjol, pertarungan di bagian akhir itu luarbiasa. Nah, yang menjadi masalah adalah Snyder belum mampu menyuntikkan kegembiraan kedalam berbagai ledakan yang ia hasilkan, ia belum mampu menampilkan action sequence yang bukan sekedar “wow” saja tapi juga fun. Tidak heran Batman v Superman: Dawn of Justice terasa biasa karena ia lebih tertarik berusaha membuat penonton terpukau dengan mencengkeram dan kemudian memekakkan telinga mereka ketimbang mencoba menciptakan presentasi yang mampu menggetarkan hati dan emosi, sesuatu yang sesungguhnya di awal memiliki potensi sangat besar.

Lalu apa keunggulan Batman v Superman: Dawn of Justice? Ini berhasil menjadi sebuah kata pengantar yang oke, berhasil merangsang penonton untuk at least tertarik fase awal pada apa yang akan DC Extended Universe berikan di masa depan terutama dari film standalone Wonder Woman, The Flash, film berikutnya dari Batman dan juga Superman, dan tentu saja target terbesar mereka yang paling dekat, Justice League. Cerita menarik dalam presentasi kusut anehnya sulit pula untuk menolak terpukau dengan berbagai karakter di dalam cerita. Motivasi mereka memang kurang menarik, but heck yes Batman, Superman, Wonder Woman, Lex Luthor hingga Lois Lane (Amy Adams) berhasil mengikat atensi hingga akhir. Di sini Snyder sukses, sisi ikonik mereka ditampilkan dengan begitu electrifying meskipun seperti disebutkan sebelumnya rasa peduli pada eksistensi mereka minim.

Dan kesuksesan tersebut tidak lepas pula dari kinerja cast, banyak hal yang sangat baik muncul dari sektor ini. Henry Cavill berhasil membawa pesona Superman naik satu level, dan chemistry Cavill dengan Amy Adams juga baik, sama seperti koneksinya dengan Ben Affleck. Ben Affleck berhasil memukul banyak persepsi miring ketika dahulu ia dipilih untuk memerankan Bruce Wayne, ia berhasil menjadi miliarder playboy yang memiliki kedalaman yang kuat ketika menjadi The Dark Knight meskipun ia harus puas berada di posisi kedua ketika bersanding dengan Jeremy Irons. Pandangan skeptis dulu juga diperoleh Gal Gadot ketika dipilih sebagai Diana Prince/Wonder Woman, tapi di sini ia membuat Wonder Woman tampak luar biasa. Highlight dari bagian cast adalah Jesse Eisenberg, menampilkan Lex Luthor sebagai pria megalomania dengan kesan sosiopat yang terus menebar ancaman yang menarik.

Minim humor, terasa sesak, dan tampak terlalu serius bukan sesuatu yang salah dilakukan oleh Batman v Superman: Dawn of Justice melainkan cara mengolah pendekatan tadi yang kurang dipoles dengan tepat sehingga ini akan terkesan seperti presentasi bisnis untuk "menjual" action figure. Memiliki karakter dengan pondasi yang menarik serta sebuah pertempuran yang epic, Batman v Superman: Dawn of Justice merupakan sebuah kata pengantar yang oke namun berakhir sebagai “tawuran” yang incoherence akibat pengarahan dan skenario yang kurang mampu menggabungkan action dan cerita menjadi kombinasi yang tidak hanya menyengat penonton namun juga memberikan mereka petualangan dengan irama yang menarik. Terlalu dipaksa untuk berlari super kencang Warner Bros. harus menemukan “cara” baru agar di film-film DC Extended Universe selanjutnya pendekatan yang mereka coba gunakan bekerja dengan maksimal. This is a competition DC! Perbaiki!
Sumber
Batman%2Bv%2BSuperman%2BDawn%2Bof%2BJust

Batman%2Bv%2BSuperman%2BDawn%2Bof%2BJust

Batman%2Bv%2BSuperman%2BDawn%2Bof%2BJust

 link download

usercloud : download

       upfile : download

sub

download 

 






Deadpool (2016) BluRay + Subtitle Indonesia

Deadpool
(2016)


deadpoolbr.jpg


Deadpool adalah sebuah sajian superhero adaptasi dari komik Marvel yang punya satu jurusan dengan dunia X-Men. Proyeknya sendiri sebenarnya sudah direncanakan sejak sedekade silam, jauh sebelum karakter ciptaan Fabian Nicieza dan Rob Liefeld ini sempat mampir di X-Men Origins: Wolverine dengan porsi dan penampilan yang bisa dibilang kurang pantas. Tetapi baru dua tahun belakangan Fox benar-benar serius menghadirkan versi live action-nya. Tidak tanggung, Fox langsung memberi tempat Deadpool dalam universe X-Men mereka ketimbang hidup dalam kisahnya seorang diri meski sayang dengan bujet yang hanya sepertiga dari franchise superhero kebanggaan mereka itu. Jadi tidak usah heran jika kamu akan menemukan banyak sindiran kocak tentang X-Men di sini.

Tetapi sesungguhnya melabeli Deadpool sebagai seorang pahlawan super mungkin terasa kurang tepat, meski ia punya kekuatan lebih dalam hal bertarung baik dengan senjata maupun tangan kosong, serta kemampuan cepat sembuh ala Wolverine. Kamu mungkin lebih tepat menjulukinya dengan sebutan “anti-superhero” superhero karena selera humor dan mulutnya yang setajam dua bilah katana di punggungnya.

Satu hal yang pasti, ini adalah sajian yang superhero yang hebat dan super duper kocak, jauh melebihi ekspektasi sebelumnya. Jika kebetulan kamu sudah pernah melihat trailernya lebih dulu, percayalah, apa yang tersaji di sana hanya secuil kecil dari begitu banyak kegilaan dan kesenangan yang ditawarkan Deadpool. Tentu saja sebagai pahlawan ‘baru’ di dunia per-superhero-an layar lebar, khususnya dalam franchise X-Men, Deadpool butuh mengenalkan diri pada penonton non fanboy-nya yang awam tentang dirinya meski sebenarnya tim marketing dari Fox sudah melakukan pekerjaan fantastis di berbagai media.

Ya, kita tetap butuh sebuah origins, dalam kasus ini ada sebuah kisah cinta yang tersaji jauh sebelum ia menjadi film superhero dalam sebuah rangkaian flashback. Wade Wilson (Ryan Reynolds) ada tentara bayaran yang suatu hari terlibat hubungan asmara dengan Vanessa Carlysle (Morena Baccarin). Pertemuan kemudian menjadi cinta, tetapi belum sempat mereka menikmati kebersamaan lebih lama, Wade didiagnosa mengidap kanker stadium akhir yang lalu memaksanya pergi meninggalkan Vanessa untuk terlibat dalam sebuah percobaan dari seorang yang menamakan dirinya Francis Freeman (Ed Skrein).

Bisa ditebak, meski melewati siksaan fisik luar biasa, serum ciptaan Francis berhasil menyembuhkan Wade dari kankernya, tidak hanya itu, ia juga memberi Wade kekuatan super termasuk di dalamnya kemampuan untuk menyembuhkan diri dengan cepat, hanya saja efek sampingnya membuat tubuh dan wajah Wade menjadi rusak. Dari ini ia kemudian menjadi Deadpool, vigalante bertopeng yang menuntut balas kepada Francis Freeman yang sudah merusak hidupnya.

Menonton Deadpool berarti kamu harus mempersiapkan dirimu untuk menghadapi 108 menit penuh kejutan dan kegilaan yang seperti tanpa batas. Terakhir menonton gelaran superhero dengan dosis komedi tinggi adalah The Guardian of The Galaxy, tetapi Deadpool jelas adalah kasus yang berbeda. Siapa yang menyangka bahwa spesialis spesial efek yang didapuk menjadi sutradara macam Tim Miller ini bisa memberikan batasan begitu tinggi dalam menghadirkan sajian superhero komedi, bahkan ini adalah film pertamanya.

Miller seperti tahu benar bagaimana membawa spirit komiknya ke versi live action, membiarkan Ryan Reynolds bersenang-senang dengan segala aksi heroik dalam balutan lateks merah ketat plus mulut ‘sampah” guna menebus kesalahannya di masa lalu ketika ia sempat mengenakan seragam CGI hijau yang….ah, sudahlah. Sosok Deadpool jelas adalah pusat segalanya, tetapi tentu saja ia tidak bisa berdiri sendiri tanpa dukungan presentasi apik yang lagi-lagi sukses dibentuk Miller dalam sebuah konsep yang sama nyelenehnya dengan karakter utamanya.

Dengan banyaknya serbuan joke-joke segar berhamburan dari lidah tajam Wade Wilson bersama alter egonya, Deadpool adalah obat tawa mujarab efektif. Di beberapa kesempatan ia bahkan tidak malu mengolok-olok dirinya sendiri baik sebagai Deadpool maupun Ryan Reynolds. Beberapa sindiran konyol yang melibatkan dunia superhero mungkin hanya bekerja maksimal pada mereka yang sering menonton subgenre ini, misalnya saja ketika ia mengeluh tentang time line X-men yang membingungkan, atau kepada profesor siapa ia harus bertemu ketika ditarik paksa oleh Peter Rasputin a.k.a Colossus (Stefan Kapičić) dan tentu saja masih segudang penuh humor-humor yang muncul di saat-saat tak terduga yang siap menghajar syaraf tawamu.

Namun meski terlihat konyol dan tidak serius, Miller tidak pernah membuat Deadpool kehilangan sentuhan superhero yang keren. Setiap aksi Deadpool terlihat menawan dengan balutan spesial efek dan beberapa slowmotion yang meski tidak sampai terlalu bombastis karena keterbatasan biaya produksi namun hasilnya bisa tepat sasaran dan tidak berlebihan, belum saya menyebutkan sisi kebrutalan yang juga sukses diekspos Miller dengan penuh gaya.

Ryan Reynolds adalah alasan mengapa karakter Deadpool begitu hidup dan begitu cerewet. Dari menit pertama ia seperti tidak berhenti ngoceh di berbagai situasi yang sebenarnya termasuk kasual seperti di dalam taksi, laundry atau santai di rumah bersama temannya; seorang wanita tua buta. Reynolds Membombardir penontonnya dengan rentetan one-liner, ejekan-ejekan, dan metafora aneh yang sedikit banyak sudah membantu menutupi kekurangan pada plotnya yang sebenarnya klise untuk ukuran film superhero, termasuk juga kehadiran villain yang tidak hebat-hebat banget.
Sumber
deadpool-2016-movie-poster-4k-wallpaper.

deadpool-gallery-03.jpg

tumblr_inline_nrquudzC6X1qmqbpc_1280.png

link download

       uc : download 
tusfiles : download
  upfile : download

subtittle