Showing posts with label film. Show all posts
Showing posts with label film. Show all posts

Saturday, April 30, 2016

Batman v Superman: Dawn of Justice (2016) HDTC + Subtitle Indonesia

Batman v Superman: Dawn of Justice (2016) HDTC + Subtitle Indonesia

 batman-vs-superman-6-post.jpg

 

Warner Bros. (akhirnya) memulai shared fictional universe DC Extended Universe di tahun 2013 lewat film Superman dengan judul Man of Steel, sedangkan kompetitor mereka, You-Know-Who, memulai “dunia” milik mereka di tahun 2008 dan tahun ini akan merilis film yang ke-14. DC mencoba mengejar dengan menjadikan film ini sebagai reboot Batman, sekuel Superman, perkenalan musuh besar, dan perkenalan superhero baru. Usaha yang ingin “cepat” tadi memang menghasilkan presentasi yang terasa jam-packed namun di sisi lain Batman v Superman: Dawn of Justice berhasil mencapai tujuan utama mereka: menjadi sebuah kata pengantar yang oke bagi DC Extended Universe. The greatest gladiator match in the history of the world?

Pertarungan destruktif antara dirinya dengan General Zod (Michael Shannon) menyebabkan Superman (Henry Cavill) kini harus menyandang status sebagai tokoh kontroversial di Metropolis. Tidak hanya masyarakat Metropolis yang marah pada Superman namun juga Bruce Wayne (Ben Affleck) mulai berusaha menemukan kelemahan Superman ketika ia beroperasi sebagai pahlawan kegelapan di Gotham City sebagai Batman. Bruce Wayne menilai bahwa Superman harus dihukum akibat pertarungannya dengan General Zod memakan banyak korban jiwa. Lex Luthor (Jesse Eisenberg), seorang pengusaha kaya ini juga berpikiran serupa dan tidak hanya sekedar mencoba untuk “menekan” Senator June Finch (Holly Hunter) namun sembari mendorong rencana lain miliknya yang lebih mematikan terkait kryptonite dan Zod.

Sejak pertama kali memperkenalkan dirinya film Batman v Superman sudah harus menghadapi track yang begitu mendaki, dari berbagai “lelucon” hingga sikap pesimis dari calon penontonnya. Memang Man of Steel menciptakan "dampak" yang cukup kuat sebagai pembuka DC Extended Universe namun satu hal yang harus diingat seperti yang disinggung di awal tadi bahwa DC Extended Universe baru memulai dunia mereka, ini adalah film kedua mereka. Yang menjadi masalah adalah di balik potensi dari karakter-karakter besar yang mereka punya DC tampak masih bingung pada cara memulai “kerajaan” mereka, ibarat konstruksi mereka belum menemukan pondasi yang bukan hanya kuat namun juga “tepat” untuk membangun konstruksi di atasnya. Alhasil dengan memiliki Batman dan Superman dalam satu film sebuah pertarungan gladiator terbesar dalam sejarah justru berakhir kurang maksimal.

Batman v Superman: Dawn of Justice seperti dipaksa untuk berlari kencang demi mengejar rival yang sudah berada jauh di depan. Won’t say ini sebuah sajian yang super buruk namun dengan segala macam kompleksitas yang ia punya dilengkapi pertarungan intens di bagian akhir film ini meninggalkan rasa yang sedikit unik, sebuah rasa ketika manis, pahit, hingga asam saling bercampur dan tidak ada satupun dari mereka yang terasa tajam. Jika Batman v Superman: Dawn of Justice ingin menghadirkan pendekatan yang lebih gelap dari apa yang dilakukan You-Know-Who seharusnya penonton bukan sekedar dicengkeram saja tapi diberi ketukan yang tepat, dari segi cerita dan daya tarik. Semangat film ini tinggi tapi daya tarik dan pesona cerita tidak stabil, bicara motivasi karakter ia minim sisi ketegangan dramatis juga terasa kurang nendang, dan itu hal yang salah karena sesungguhnya DC juga punya tugas lain yang tidak kalah pentingnya: mendapatkan penggemar baru.

Pendekatan “gelap” yang DC coba lakukan bukan sesuatu yang salah tapi mengapa mereka berakhir tidak maksimal karena tidak ada eksekusi yang tegas di dalamnya. Batman, Superman, hingga Wonder Woman, mereka tenggelam di dalam skenario yang terlalu sibuk membangun benang merah masalah karena tugas yang sejak awal memang sudah begitu banyak, usaha membedah superhero dengan menggunakan latar belakang yang suram sembari menampilkan misteri dari penjahat utama yang telah menanti di depan. Pada akhirnya memang berbagai masalah beserta keterkaitannya satu sama lain menjadi clear tapi ada rasa inkoherensi di dalamnya, disjointed dan meninggalkan makna yang kurang menarik. Bukan, bukan pada bagaimana hal super rumit diselesaikan dengan satu nama namun akibat Zack Snyder yang tidak mampu menciptakan rasa peduli yang kuat dari penonton terhadap karakter utama, sudah begitu di awal penonton disuruh memilih pula.

Di tangan Zack Snyder film ini tampil seperti sebuah presentasi bisnis, penonton hanya menyaksikan penggambaran tentang sebab dan akibat tanpa dirangkul untuk seolah ikut terlibat di dalam kepentingan yang dibawa oleh cerita. Script yang ditulis oleh Chris Terrio dan David S. Goyer memang tidak dapat dikatakan kuat pula, cerita tidak pernah mampu menjelaskan mengapa pertikaian antara Batman dan Superman tampak seperti sebuah masalah yang besar, perlahan hanya terasa seperti adu domba dari Lex Luthor. Cara Zack Snyder mengolah materi yang jadi kendala utama bagi Batman v Superman: Dawn of Justice untuk bersinar terang. Dari sinopsis yang menarik Snyder tidak menunggu lama, dengan cepat membangun motivasi lalu mengutak-atik cerita untuk menciptakan panggung perebutan gelar terbaik antara Batman dan Superman. Celakanya arah masalah tidak hanya dua, ada empat malah mungkin lebih, dan dari sana Snyder mulai tenggelam dalam ambisinya.

Ketika konflik mulai terasa kusut akibat editing yang lemah Snyder kembali gunakan kegemarannya pada kebisingan dan menghancurkan hal-hal untuk menyelesaikan masalah. Zack Snyder memang punya visi yang bagus dalam hal teknis dan harus diakui Batman v Superman: Dawn of Justice punya beberapa action sequence yang menonjol, pertarungan di bagian akhir itu luarbiasa. Nah, yang menjadi masalah adalah Snyder belum mampu menyuntikkan kegembiraan kedalam berbagai ledakan yang ia hasilkan, ia belum mampu menampilkan action sequence yang bukan sekedar “wow” saja tapi juga fun. Tidak heran Batman v Superman: Dawn of Justice terasa biasa karena ia lebih tertarik berusaha membuat penonton terpukau dengan mencengkeram dan kemudian memekakkan telinga mereka ketimbang mencoba menciptakan presentasi yang mampu menggetarkan hati dan emosi, sesuatu yang sesungguhnya di awal memiliki potensi sangat besar.

Lalu apa keunggulan Batman v Superman: Dawn of Justice? Ini berhasil menjadi sebuah kata pengantar yang oke, berhasil merangsang penonton untuk at least tertarik fase awal pada apa yang akan DC Extended Universe berikan di masa depan terutama dari film standalone Wonder Woman, The Flash, film berikutnya dari Batman dan juga Superman, dan tentu saja target terbesar mereka yang paling dekat, Justice League. Cerita menarik dalam presentasi kusut anehnya sulit pula untuk menolak terpukau dengan berbagai karakter di dalam cerita. Motivasi mereka memang kurang menarik, but heck yes Batman, Superman, Wonder Woman, Lex Luthor hingga Lois Lane (Amy Adams) berhasil mengikat atensi hingga akhir. Di sini Snyder sukses, sisi ikonik mereka ditampilkan dengan begitu electrifying meskipun seperti disebutkan sebelumnya rasa peduli pada eksistensi mereka minim.

Dan kesuksesan tersebut tidak lepas pula dari kinerja cast, banyak hal yang sangat baik muncul dari sektor ini. Henry Cavill berhasil membawa pesona Superman naik satu level, dan chemistry Cavill dengan Amy Adams juga baik, sama seperti koneksinya dengan Ben Affleck. Ben Affleck berhasil memukul banyak persepsi miring ketika dahulu ia dipilih untuk memerankan Bruce Wayne, ia berhasil menjadi miliarder playboy yang memiliki kedalaman yang kuat ketika menjadi The Dark Knight meskipun ia harus puas berada di posisi kedua ketika bersanding dengan Jeremy Irons. Pandangan skeptis dulu juga diperoleh Gal Gadot ketika dipilih sebagai Diana Prince/Wonder Woman, tapi di sini ia membuat Wonder Woman tampak luar biasa. Highlight dari bagian cast adalah Jesse Eisenberg, menampilkan Lex Luthor sebagai pria megalomania dengan kesan sosiopat yang terus menebar ancaman yang menarik.

Minim humor, terasa sesak, dan tampak terlalu serius bukan sesuatu yang salah dilakukan oleh Batman v Superman: Dawn of Justice melainkan cara mengolah pendekatan tadi yang kurang dipoles dengan tepat sehingga ini akan terkesan seperti presentasi bisnis untuk "menjual" action figure. Memiliki karakter dengan pondasi yang menarik serta sebuah pertempuran yang epic, Batman v Superman: Dawn of Justice merupakan sebuah kata pengantar yang oke namun berakhir sebagai “tawuran” yang incoherence akibat pengarahan dan skenario yang kurang mampu menggabungkan action dan cerita menjadi kombinasi yang tidak hanya menyengat penonton namun juga memberikan mereka petualangan dengan irama yang menarik. Terlalu dipaksa untuk berlari super kencang Warner Bros. harus menemukan “cara” baru agar di film-film DC Extended Universe selanjutnya pendekatan yang mereka coba gunakan bekerja dengan maksimal. This is a competition DC! Perbaiki!
Sumber
Batman%2Bv%2BSuperman%2BDawn%2Bof%2BJust

Batman%2Bv%2BSuperman%2BDawn%2Bof%2BJust

Batman%2Bv%2BSuperman%2BDawn%2Bof%2BJust

 link download

usercloud : download

       upfile : download

sub

download 

 






Deadpool (2016) BluRay + Subtitle Indonesia

Deadpool
(2016)


deadpoolbr.jpg


Deadpool adalah sebuah sajian superhero adaptasi dari komik Marvel yang punya satu jurusan dengan dunia X-Men. Proyeknya sendiri sebenarnya sudah direncanakan sejak sedekade silam, jauh sebelum karakter ciptaan Fabian Nicieza dan Rob Liefeld ini sempat mampir di X-Men Origins: Wolverine dengan porsi dan penampilan yang bisa dibilang kurang pantas. Tetapi baru dua tahun belakangan Fox benar-benar serius menghadirkan versi live action-nya. Tidak tanggung, Fox langsung memberi tempat Deadpool dalam universe X-Men mereka ketimbang hidup dalam kisahnya seorang diri meski sayang dengan bujet yang hanya sepertiga dari franchise superhero kebanggaan mereka itu. Jadi tidak usah heran jika kamu akan menemukan banyak sindiran kocak tentang X-Men di sini.

Tetapi sesungguhnya melabeli Deadpool sebagai seorang pahlawan super mungkin terasa kurang tepat, meski ia punya kekuatan lebih dalam hal bertarung baik dengan senjata maupun tangan kosong, serta kemampuan cepat sembuh ala Wolverine. Kamu mungkin lebih tepat menjulukinya dengan sebutan “anti-superhero” superhero karena selera humor dan mulutnya yang setajam dua bilah katana di punggungnya.

Satu hal yang pasti, ini adalah sajian yang superhero yang hebat dan super duper kocak, jauh melebihi ekspektasi sebelumnya. Jika kebetulan kamu sudah pernah melihat trailernya lebih dulu, percayalah, apa yang tersaji di sana hanya secuil kecil dari begitu banyak kegilaan dan kesenangan yang ditawarkan Deadpool. Tentu saja sebagai pahlawan ‘baru’ di dunia per-superhero-an layar lebar, khususnya dalam franchise X-Men, Deadpool butuh mengenalkan diri pada penonton non fanboy-nya yang awam tentang dirinya meski sebenarnya tim marketing dari Fox sudah melakukan pekerjaan fantastis di berbagai media.

Ya, kita tetap butuh sebuah origins, dalam kasus ini ada sebuah kisah cinta yang tersaji jauh sebelum ia menjadi film superhero dalam sebuah rangkaian flashback. Wade Wilson (Ryan Reynolds) ada tentara bayaran yang suatu hari terlibat hubungan asmara dengan Vanessa Carlysle (Morena Baccarin). Pertemuan kemudian menjadi cinta, tetapi belum sempat mereka menikmati kebersamaan lebih lama, Wade didiagnosa mengidap kanker stadium akhir yang lalu memaksanya pergi meninggalkan Vanessa untuk terlibat dalam sebuah percobaan dari seorang yang menamakan dirinya Francis Freeman (Ed Skrein).

Bisa ditebak, meski melewati siksaan fisik luar biasa, serum ciptaan Francis berhasil menyembuhkan Wade dari kankernya, tidak hanya itu, ia juga memberi Wade kekuatan super termasuk di dalamnya kemampuan untuk menyembuhkan diri dengan cepat, hanya saja efek sampingnya membuat tubuh dan wajah Wade menjadi rusak. Dari ini ia kemudian menjadi Deadpool, vigalante bertopeng yang menuntut balas kepada Francis Freeman yang sudah merusak hidupnya.

Menonton Deadpool berarti kamu harus mempersiapkan dirimu untuk menghadapi 108 menit penuh kejutan dan kegilaan yang seperti tanpa batas. Terakhir menonton gelaran superhero dengan dosis komedi tinggi adalah The Guardian of The Galaxy, tetapi Deadpool jelas adalah kasus yang berbeda. Siapa yang menyangka bahwa spesialis spesial efek yang didapuk menjadi sutradara macam Tim Miller ini bisa memberikan batasan begitu tinggi dalam menghadirkan sajian superhero komedi, bahkan ini adalah film pertamanya.

Miller seperti tahu benar bagaimana membawa spirit komiknya ke versi live action, membiarkan Ryan Reynolds bersenang-senang dengan segala aksi heroik dalam balutan lateks merah ketat plus mulut ‘sampah” guna menebus kesalahannya di masa lalu ketika ia sempat mengenakan seragam CGI hijau yang….ah, sudahlah. Sosok Deadpool jelas adalah pusat segalanya, tetapi tentu saja ia tidak bisa berdiri sendiri tanpa dukungan presentasi apik yang lagi-lagi sukses dibentuk Miller dalam sebuah konsep yang sama nyelenehnya dengan karakter utamanya.

Dengan banyaknya serbuan joke-joke segar berhamburan dari lidah tajam Wade Wilson bersama alter egonya, Deadpool adalah obat tawa mujarab efektif. Di beberapa kesempatan ia bahkan tidak malu mengolok-olok dirinya sendiri baik sebagai Deadpool maupun Ryan Reynolds. Beberapa sindiran konyol yang melibatkan dunia superhero mungkin hanya bekerja maksimal pada mereka yang sering menonton subgenre ini, misalnya saja ketika ia mengeluh tentang time line X-men yang membingungkan, atau kepada profesor siapa ia harus bertemu ketika ditarik paksa oleh Peter Rasputin a.k.a Colossus (Stefan Kapičić) dan tentu saja masih segudang penuh humor-humor yang muncul di saat-saat tak terduga yang siap menghajar syaraf tawamu.

Namun meski terlihat konyol dan tidak serius, Miller tidak pernah membuat Deadpool kehilangan sentuhan superhero yang keren. Setiap aksi Deadpool terlihat menawan dengan balutan spesial efek dan beberapa slowmotion yang meski tidak sampai terlalu bombastis karena keterbatasan biaya produksi namun hasilnya bisa tepat sasaran dan tidak berlebihan, belum saya menyebutkan sisi kebrutalan yang juga sukses diekspos Miller dengan penuh gaya.

Ryan Reynolds adalah alasan mengapa karakter Deadpool begitu hidup dan begitu cerewet. Dari menit pertama ia seperti tidak berhenti ngoceh di berbagai situasi yang sebenarnya termasuk kasual seperti di dalam taksi, laundry atau santai di rumah bersama temannya; seorang wanita tua buta. Reynolds Membombardir penontonnya dengan rentetan one-liner, ejekan-ejekan, dan metafora aneh yang sedikit banyak sudah membantu menutupi kekurangan pada plotnya yang sebenarnya klise untuk ukuran film superhero, termasuk juga kehadiran villain yang tidak hebat-hebat banget.
Sumber
deadpool-2016-movie-poster-4k-wallpaper.

deadpool-gallery-03.jpg

tumblr_inline_nrquudzC6X1qmqbpc_1280.png

link download

       uc : download 
tusfiles : download
  upfile : download

subtittle



Wednesday, March 30, 2016

Star Wars: The Force Awakens (2015) BluRay + Subtitle Indonesia


the-force-awakens.jpg

Membangunkan kembali salah satu franchise paling terkenal di bumi setelah tertidur selama sepuluh tahun bukan pekerjaan yang sulit, namun jika disertai dengan kewajiban untuk memperbaiki citra atau image yang sempat dibawa turun satu level oleh tiga buah prekuel adalah bukan sebuah tugas yang mudah. Seperti judul yang ia gunakan, The Force Awakens merupakan upaya kebangkitan yang dilakukan oleh Star Wars, memberikan perputaran dan nafas yang baru dan segar dengan mencampur old and new, sebuah nostalgia penuh sukacita bagi fans yang tetap mampu membuat penonton baru untuk jatuh cinta. Star Wars: The Force Awakens, a new hope in a new start.

Luke Skywalker (Mark Hamill) telah menghilang. Dalam ketidakhadirannya, First Order yang menyeramkan bangkit dari kekalahan the Empire dan tidak akan berhenti hingga Skywalker, the last Jedi, telah dihancurkan. Dengan dukungan dari the Republic, General Leia Organa (Carrie Fisher) memimpin Resistance. Leia berusaha keras menemukan kakaknya Luke dan mendapatkan bantuannya dalam memulihkan perdamaian dan keadilan bagi the galaxy. Leia mengirim pilotnya yang paling berani pada misi rahasia ke Jakku, di mana sekutu telah menemukan petunjuk tentang keberadaan Luke.

Namun di bawah komando Kylo Ren (Adam Driver), Stormtroopers berhasil menangkap pilot tadi, Poe Dameron (Oscar Isaac). Untung saja petunjuk yang ia peroleh berhasil Poe selamatkan dengan menaruhnya pada droid bernama BB-8, yang kemudian secara tidak sengaja bertemu dengan pemulung di Jakku bernama Rey (Daisy Ridley). BB-8 mengatakan pada Rey bahwa ia sedang mencari tuannya, Poe, dan kemudian marah ketika ia melihat jaket Poe dipakai oleh Finn (John Boyega). BB-8, Rey, dan Finn yang masih asing satu sama lain berusaha kabur dari kejaran First Order menggunakan the Millennium Falcon, namun celakanya mereka masuk ke dalam masalah yang tidak biasa.

Sepertinya J. J. Abrams lahir lewat sebuah proses science-fiction karena pria yang punya Armageddon, Super 8, Star Trek, dan tv-series seperti Lost dan Alias di filmografi miliknya ini seolah paham betul apa yang harus dilakukan untuk memuaskan penonton yang datang mencari sebuah sajian sci-fi. Kunci kesuksesan Star Wars: The Force Awakens memecahkan berbagai rekor box-office terletak pada kemampuan J. J. Abrams yang tahu bagaimana untuk tetap setia pada elemen klasik namun di sisi lain ikut mendorong elemen baru yang membawa nafas segar untuk masuk ke dalam galaksi. Sepintas Star Wars: The Force Awakens tampak hanya seperti kelanjutan episode enam namun ini adalah sebuah start baru bagi Star Wars, memperkenalkan Rey, Finn, Kylo Ren, hingga BB-8 yang dipilih menjadi generasi penerus namun tetap menempatkan karakter lama sebagai kunci di pusat cerita dengan penuh hormat.

Hasilnya seperti yang disebutkan di awal tadi ini menjadi pesta bagi fans setia namun dengan cerdik dan cerdas mampu menarik atensi penonton baru untuk jatuh cinta padanya. Star Wars: The Force Awakens memang masih menghadirkan berbagai action sequence fantastis yang tentu saja menjadi salah satu jualan utamanya, namun di sini mereka tidak menjadi fokus utama melainkan jantung dari cerita. Memakai proses pencarian Luke banyak hal yang berhasil dikembangkan oleh J. J. Abrams bersama Lawrence Kasdan dan Michael Arndt di sektor cerita, dari terampil memperkenalkan karakter baru yang appealing tanpa menciptakan kesan annoying serta membawa kisah yang telah eksis untuk tumbuh dengan bertumpu pada sebuah drama keluarga, dan semua mereka satukan dalam alur yang pada dasarnya merupakan daur ulang peristiwa dari film pertama, A New Hope.

Sangat senang Star Wars: The Force Awakens meninggalkan skenario penuh intrik "politik" yang dilakukan prekuel lalu kemudian memilih untuk kembali pada ketukan yang diciptakan tiga film pertamanya. Sama seperti A New Hope film ketujuh ini menggunakan konsep mencari arah dari sekelompok anak muda di dalam dunia yang sedang kehilangan pahlawan sebagai pondasi utamanya. Sangat suka dengan hubungan antara Rey dan Finn, mereka membentuk dasar yang sangat tepat bagi The Force Awakens, Finn dan Rey merupakan sosok “minor” di alam semesta, hidup susah dan putus asa, lalu berikan mereka jalan untuk mengerti pada potensi yang mereka miliki dengan cara yang serius namun santai sembari tetap menjaga gema dari kisah asli yang bermain dengan masalah warisan dan konsekuensi.

Petualangan lintas generasi, itu yang menjadi charm utama Star Wars: The Force Awakens. Segala sesuatu berlangsung cepat, dari drama hingga action, bahkan unsur komedi juga memilih untuk tampil dengan one punch humor yang sangat sedikit berakhir gagal, namun J. J. Abrams terampil dalam menyusun struktur presentasi sehingga banyak hal di dalam cerita tidak menimbulkan tabrakan dan dapat terus bergerak cepat. Ya, gerak cepat itu yang berhasil menjadikan cerita yang sebenarnya tidak istimewa itu terasa menyenangkan untuk diikuti, kekacauan berisikan kegembiraan dan melodrama yang manis. Berbicara tentang drama cara J. J. Abrams menampilkan emosi dari karakter juga oke, terasa cair dan tidak kaku meskipun seperti diupayakan agar tidak terlalu “eksplisit” dalam penyampaiannya.

Terlepas dari penyutradaraan J. J. Abrams, cerita yang bekerja dengan efektif, visual yang fantastis, dan tentu saja score mengasyikkan dari John Williams yang memberikan eargasm, kinerja akting memberikan kontribusi yang tidak kalah besar. Dari karakter lama efek kejut ketika mereka hadir sangat manis, Harrison Ford dan Carrie Fisher benar-benar sukses menampilkan kembali pesona mereka yang selama ini penonton kagumi. Oh, Chewbacca juga. Dan karakter baru layak mendapatkan kredit yang sama besar. Adam Driver meneruskan sisi hitam cerita menjadi tampak menjanjikan, dan Oscar Isaac menjadi jembatan yang baik di awal. John Boyega tampil lucu dengan sangat alami, sebuah performa yang seperti “in your face” kepada penonton yang gemar dengan rasisme. And thanks God for Daisy Ridley. Daisy Ridley is a revelation. Star Wars is in great hands!

Dan yang terakhir, hal yang mungkin akan menjadi pertanyaan menarik bagi penonton baru: apakah sebelum menonton Star Wars: The Force Awakens saya harus menonton terlebih dahulu enam film sebelumnya? Star Wars: The Force Awakens seperti di set untuk tidak menaruh beban yang begitu berat pada cerita, jika anda lepaskan sejarah dari karakter lama ini akan menjadi sebuah action movie yang begitu familiar. Tapi hal terakhir tadi tidak boleh anda lakukan! Salah satu hal paling menarik yang menjadi sensasi terbesar dari film ini adalah ketika penonton bertemu kembali dengan orang-orang yang telah lama mereka kenal. Anda bayangkan sebuah reuni, tentu akan jauh lebih menarik ketika anda bertemu kembali dengan sahabat yang telah akrab dengan anda ketimbang teman-teman yang di antara anda dan dia hanya sebatas tahu nama. Anda bisa tinggalkan prekuel, namun tidak dengan Star Wars, The Empire Strikes Back, dan Return of the Jedi.

Overall, Star Wars: The Force Awakens adalah film yang memuaskan. Seperti sebuah kalimat dari Han Solo, “Chewie, we're home,” Star Wars: The Force Awakens berhasil menyajikan kembali “rumah” dari petualangan luar angkasa, space opera yang memiliki liku-liku di cerita namun terus mendorong kejutan dan reuni sebagai pemuas dahaga penonton lama, dan sebagai senjata untuk membuat penonton baru jatuh cinta. Tetap bermain di area yang familiar bagi penontonnya, J. J. Abrams bukan hanya sekedar berhasil meluruskan kembali gerak franchise Star Wars dan membawanya ke jalan yang “benar,” ia juga berhasil menciptakan sebuah transisi, sebuah jembatan antara old and new dari Star Wars dengan mengandalkan semangat dari Star Wars itu sendiri, sebuah petualangan yang heboh, visual dan score yang epik, baik melawan jahat, dan semua ditopang oleh drama dengan emosi, jiwa, dan charms yang pernah George Lucas gunakan untuk membuat tiga film pertamanya terasa istimewa.
Sumber


link

uc : download 
tf : download 
uf : download 

subtittle



Deadpool (2016) HC HDRip + Subtitle Indonesia

Deadpool (2016) HC HDRip + Subtitle Indonesia


deadpoolhchd.jpg


Deadpool adalah sebuah sajian superhero adaptasi dari komik Marvel yang punya satu jurusan dengan dunia X-Men. Proyeknya sendiri sebenarnya sudah direncanakan sejak sedekade silam, jauh sebelum karakter ciptaan Fabian Nicieza dan Rob Liefeld ini sempat mampir di X-Men Origins: Wolverine dengan porsi dan penampilan yang bisa dibilang kurang pantas. Tetapi baru dua tahun belakangan Fox benar-benar serius menghadirkan versi live action-nya. Tidak tanggung, Fox langsung memberi tempat Deadpool dalam universe X-Men mereka ketimbang hidup dalam kisahnya seorang diri meski sayang dengan bujet yang hanya sepertiga dari franchise superhero kebanggaan mereka itu. Jadi tidak usah heran jika kamu akan menemukan banyak sindiran kocak tentang X-Men di sini.

Tetapi sesungguhnya melabeli Deadpool sebagai seorang pahlawan super mungkin terasa kurang tepat, meski ia punya kekuatan lebih dalam hal bertarung baik dengan senjata maupun tangan kosong, serta kemampuan cepat sembuh ala Wolverine. Kamu mungkin lebih tepat menjulukinya dengan sebutan “anti-superhero” superhero karena selera humor dan mulutnya yang setajam dua bilah katana di punggungnya.

Satu hal yang pasti, ini adalah sajian yang superhero yang hebat dan super duper kocak, jauh melebihi ekspektasi sebelumnya. Jika kebetulan kamu sudah pernah melihat trailernya lebih dulu, percayalah, apa yang tersaji di sana hanya secuil kecil dari begitu banyak kegilaan dan kesenangan yang ditawarkan Deadpool. Tentu saja sebagai pahlawan ‘baru’ di dunia per-superhero-an layar lebar, khususnya dalam franchise X-Men, Deadpool butuh mengenalkan diri pada penonton non fanboy-nya yang awam tentang dirinya meski sebenarnya tim marketing dari Fox sudah melakukan pekerjaan fantastis di berbagai media.

Ya, kita tetap butuh sebuah origins, dalam kasus ini ada sebuah kisah cinta yang tersaji jauh sebelum ia menjadi film superhero dalam sebuah rangkaian flashback. Wade Wilson (Ryan Reynolds) ada tentara bayaran yang suatu hari terlibat hubungan asmara dengan Vanessa Carlysle (Morena Baccarin). Pertemuan kemudian menjadi cinta, tetapi belum sempat mereka menikmati kebersamaan lebih lama, Wade didiagnosa mengidap kanker stadium akhir yang lalu memaksanya pergi meninggalkan Vanessa untuk terlibat dalam sebuah percobaan dari seorang yang menamakan dirinya Francis Freeman (Ed Skrein).

Bisa ditebak, meski melewati siksaan fisik luar biasa, serum ciptaan Francis berhasil menyembuhkan Wade dari kankernya, tidak hanya itu, ia juga memberi Wade kekuatan super termasuk di dalamnya kemampuan untuk menyembuhkan diri dengan cepat, hanya saja efek sampingnya membuat tubuh dan wajah Wade menjadi rusak. Dari ini ia kemudian menjadi Deadpool, vigalante bertopeng yang menuntut balas kepada Francis Freeman yang sudah merusak hidupnya.

Menonton Deadpool berarti kamu harus mempersiapkan dirimu untuk menghadapi 108 menit penuh kejutan dan kegilaan yang seperti tanpa batas. Terakhir menonton gelaran superhero dengan dosis komedi tinggi adalah The Guardian of The Galaxy, tetapi Deadpool jelas adalah kasus yang berbeda. Siapa yang menyangka bahwa spesialis spesial efek yang didapuk menjadi sutradara macam Tim Miller ini bisa memberikan batasan begitu tinggi dalam menghadirkan sajian superhero komedi, bahkan ini adalah film pertamanya.

Miller seperti tahu benar bagaimana membawa spirit komiknya ke versi live action, membiarkan Ryan Reynolds bersenang-senang dengan segala aksi heroik dalam balutan lateks merah ketat plus mulut ‘sampah” guna menebus kesalahannya di masa lalu ketika ia sempat mengenakan seragam CGI hijau yang….ah, sudahlah. Sosok Deadpool jelas adalah pusat segalanya, tetapi tentu saja ia tidak bisa berdiri sendiri tanpa dukungan presentasi apik yang lagi-lagi sukses dibentuk Miller dalam sebuah konsep yang sama nyelenehnya dengan karakter utamanya.

Dengan banyaknya serbuan joke-joke segar berhamburan dari lidah tajam Wade Wilson bersama alter egonya, Deadpool adalah obat tawa mujarab efektif. Di beberapa kesempatan ia bahkan tidak malu mengolok-olok dirinya sendiri baik sebagai Deadpool maupun Ryan Reynolds. Beberapa sindiran konyol yang melibatkan dunia superhero mungkin hanya bekerja maksimal pada mereka yang sering menonton subgenre ini, misalnya saja ketika ia mengeluh tentang time line X-men yang membingungkan, atau kepada profesor siapa ia harus bertemu ketika ditarik paksa oleh Peter Rasputin a.k.a Colossus (Stefan Kapičić) dan tentu saja masih segudang penuh humor-humor yang muncul di saat-saat tak terduga yang siap menghajar syaraf tawamu.

Namun meski terlihat konyol dan tidak serius, Miller tidak pernah membuat Deadpool kehilangan sentuhan superhero yang keren. Setiap aksi Deadpool terlihat menawan dengan balutan spesial efek dan beberapa slowmotion yang meski tidak sampai terlalu bombastis karena keterbatasan biaya produksi namun hasilnya bisa tepat sasaran dan tidak berlebihan, belum saya menyebutkan sisi kebrutalan yang juga sukses diekspos Miller dengan penuh gaya.

Ryan Reynolds adalah alasan mengapa karakter Deadpool begitu hidup dan begitu cerewet. Dari menit pertama ia seperti tidak berhenti ngoceh di berbagai situasi yang sebenarnya termasuk kasual seperti di dalam taksi, laundry atau santai di rumah bersama temannya; seorang wanita tua buta. Reynolds Membombardir penontonnya dengan rentetan one-liner, ejekan-ejekan, dan metafora aneh yang sedikit banyak sudah membantu menutupi kekurangan pada plotnya yang sebenarnya klise untuk ukuran film superhero, termasuk juga kehadiran villain yang tidak hebat-hebat banget.

sumber

link 

uc : download 
tf : download 
up : download 

subtittle

Ice Age: The Great Egg-Scape (2016) WEB-DL + Subtitle Indonesia

Ice Age: The Great Egg-Scape
(2016)





 the-great-egg-scapade.jpg
 When Sid takes a job as an egg nanny, he's unaware an old enemy has plans of his own. The shenanigans lead to the first egg hunt and creation of popular Easter traditions.
Sumber

link
uc : download 
tusfiles : download 
upfile : download 


subtittle

Batman v Superman: Dawn of Justice (2016) CAM + Subtitle Indonesia

Batman v Superman: Dawn of Justice (2016) CAM + Subtitle Indonesia

 

 

 batman-v-superman.jpg

 

 It’s happening! Ya, waktu berlalu begitu cepat, tak terasa sudah tiga tahun lamanya sejak Warner Bros mengejutkan jagat per-superhero-an dengan mengumumkan proyek sekuel Man of Steel, kini mimpi basah buat setiap fanboy komik dunia, khususnya DC Comics akhirnya benar-benar kejadian. Batman v Superman: Dawn of Justice sudah datang, membawa segala hype luar biasa sejak konfrensi pers Zack Snyder di ajang San Diego Comic-Con Internasional 2013 silam. Snyder mengatakan bahwa seri lanjutan Man of Steel ini bukan sembarang sekuel, ia akan menjadi sebuah sekuel nan epik karena untuk pertama kalinya dua raksasa DC (Superman dan Batman) bertemu dan baku hantam dalam satu universe.

Ya, hype-nya begitu besar diiring dengan harapan yang juga semakin besar. Dari kejutan kemunculan Batman dalam sekuel Superman, casting Ben Affleck sampai Woder Woman-nya Gal Gadot, berita-berita baru tentang BvS selalu menjadi bahan diskusi menarik buat para moviegoers dunia yang menghitung hari demi hari untuk menunggu kemunculan utuhnya setelah sebelumnya diberondong trailler-trailler menggiurkan tanpa pernah benar-benar menyadari bahwa langkah drastis yang diambil Warner Bros dan Snyder ini adalah sebuah perjudian luar biasa dengan taruhan yang sama luar biasanya. Efeknya nanti, berhasil atau tidak, tidak hanya berimbas pada franchise Superman itu sendiri saja namun juga Batman, Justice League dan masa depan adaptasi DC Comics dalam usaha mereka untuk setidaknya bisa mendekati pekerjaan fantastis yang sudah dibuat rivalnya, Marvel dengan MCU-nya yang super solid itu.

Separuh cerita lanjutan Man of Steel dan separuh prolog buat Justice League, BvS memulai segalanya dengan kembali sedikit mengulang origins Batman sebelum kita menyaksikan bagaimana kehancuran Metropolis di klimaks akhir Man of Steel ternyata berpengaruh besar buat banyak orang, salah satunya adalah Bruce Wayne (Ben Affleck) yang menyaksikan dengan mata sendiri bagaimana duel Superman dan Zod memakan begitu banyak korban jiwa. Dari peristiwa ini Bruce Wayne kemudian melihat bahwa Superman bisa menjadi ancaman besar buat manusia dan kemudian terobsesi untuk menghentikan sepak terjang si manusia besi yang dipuja-puja bak Tuhan oleh umat manusia itu. Masalahnya bukan hanya kehadiran Superman saja yang menjadi kontroversial, di tempat lain ada ancaman yang sudah menunggu diam-diam, datang dari sosok milliuner cerdas, Lex Luthor (Jesse Eisenberg).

Kita mengenal Zack Snyder adalah sutradara yang piawai memanfaatkan CGI dalam mengolah visual artistik dan adegan-adegan aksi bombastis yang cantik, tetapi sayang ia bukan pencerita yang baik tidak peduli di belakangnya ada nama-nama besar macam Chris Terrio (Argo) dan David S. Goyer (trilogi The Dark Knight), jika ada satu filmnya yang paling bagus dalam bercerita mungkin itu adalah Watchman, sisanya ia tidak lebih dari sutradara yang gemar mengeksploitasi layar hijau dan gambar-gambar bagus, termasuk Man of Steel dan BvS ini. Ya, durasinya yang menyentuh dua jam setengah seharusnya lebih dari cukup buat Synder untuk menghasilkan sebuah narasi yang bagus. apalagi ia punya modal premis yang begitu kuat dengan melibatkan dua superhero paling besar di jagat raya termasuk segala filosofi God vs man-nya, tetapi Snyder tetaplah Snyder, BvS tidak lebih baik dari Man of Steel dari segi penceritaan. Ini bisa dibilang berantakan, membingungkan dan tidak bersinergi dengan konsep dan universe-nya. Misalnya saja tentang Batman yang digambarkan sudah tua, sudah 20 tahun kata Alfred Pennyworth (Jeremy Irons) namun sepertinya tidak ada yang mengetahui sepak terjang sang manusia kelelawar itu sama sekali padahal di sini di gambarkan lokasi Gotham dan Metropolis hanya bersebelahan. Tidak ada yang tahu bagaimana Lex Luthor bisa tahu segalanya, sampai-sampai mampu menyusup ke markas Batman hanya untuk mencoret seragam dan surat-suratnya dan berbagai plot hole lainnya yang lumayan akan menyentil logikamu.

Sisanya, paruh pertama bergerak begitu lurus dan membosankan dengan karakter-karakter yang berbicara tanpa dukungan dialog kuat tanpa adanya kedalaman dan interaksi satu sama lain yang berarti meski potensi untuk membuatnya menjadi lebih kompleks ala The Dark Knight milik Nolan dengan segala elemen politik, moral dan pencarian jati diri. Plotnya terasa acak, melompat satu tempat ke tempat lain dengan kasar, tidak dijahit dengan rapi untuk bisa membentuk sebuah kesatuan cerita yang solid dan yang satu hal yang pasti, aromanya kelewat serius dan kelam, ini akan mengecewakan penonton muda yang berharap akan banyak gelaran seru sejak awal, jadi jangan bandingkan BvS dengan superhero buatan Marvel yang mampu tampil serius dan santai sama hebatnya, DC dan Warner Bros masih harus banyak belajar lagi soal ini untuk bisa memenangkan pertempuran yang berat sebelah ini.

Jika ada kekuatan yang menonjol di sini mungkin itu berkat casting yang kuat. Awalnya banyak yang memandang sebelah mata pemilihan Ben Affleck sebagai Batman, tetapi apa yang terjadi di lapangan berkata lain. Ya, Batman versi Affleck tentu saja berbeda, ia punya pesona berbeda dengan Batman versi sebelumnya, ia lebih brutal, lebih kuat secara fisik meski digambarkan usianya sudah tidak muda lagi, seperti kata Alfred, “Even You’ve too old to die young”, bahkan kalau mau jujur, BvS terasa lebih berenergi di setiap kemunculan si kelelawar ini namun bukan berarti kita bisa menyampingkan Henry Cavill dengan Superman-nya. Faktanya ini masih film Superman dan ia masih menjadi hati terbesar buat ceritanya. Di atas kertas seharusnya Snyder bisa mengeksplorasi lebih jauh lagi soal kegalauan sang jagoan, bagaimana ia harus menghadapi situasi sulit yang membuatnya harus mengambil keputusan berat termasuk cintanya dengan Louis Lane (Amy Adams), sayang itu tidak terjadi setidaknya tidak dilakukan dengan baik. Jika Affleck harus mendapat cibiran ketika pemilihannya sebagai Batman pertama kali, nasib berbeda yang dialami Gal Gadot yang langsung dipuja-puja meski ada yang mengatakan dirinya masih kurang montok untuk memerankan karakter Diana Prince, toh, pemeran Gisele Yashar dalam franchise Fast & Furious ini berhasil menjadi screen stealer di sini. Satu hal yang mengganggu di sini mungkin Lex Luthor-nya Jesse Eisenberg yang annoying. Bukan berarti Eisenberg tidak cocok memerankan sosok villiant masalahnya ia terlalu banyak bicara dan ia bukan Joker dan segala kecerewetannya itu sangat mengesalkan.

Dan seperti yang dilakukannya dalam Man of Steel, Snyder menaruh segala kesenangannya di akhir film, ya, percayalah 30-45 menit akhir itu adalah bagian terbaik BvS, terutama ketika Woder Woman datang dengan begitu dramatis dan mengesankan dalam iring-iringan scoring mengelegar Hans Zimmer dan Junkie Xl, sedikit disayangkan sudah tidak lagi mengejutkan karena telah diobral di trailer sebelumnya. Adegan pertempuran klimaksnya luar biasa dahsyat, membuat air liurmu menetes karena takjub, kemunculan Doomsday benar-benar menghasilkan kerusakan luar biasa bagi para pahlawan super kita yang harus bahu membahu mengalahkannya. Snyder tahu benar bagaimana mengolah setiap adegannya dengan bombastis, menghasilkan sebuah keseruan luar biasa yang sedikit banyak sudah mengobati kekecewaan di paruh pertamanya, bagi pembaca komiknya tentu saja sudah bisa sedikit menebak apa yang terjadi di akhir ketika Snyder memilih memunculkan sosok Doomsday, tetapi ini cukup puas dengan ending-nya yang emosional dan di saat bersamaan, sudah memberi dasar kuat buat kehadiran Justice League nanti.

 sumber 

 

link download

 

usercloud : download 

tusfiles :  download

upfile : download


subtittle

coming soon

Wednesday, July 1, 2015

Dragon Ball Z: Resurrection 'F' (ドラゴンボールZ 復活の「F」エフ/ Hepburn: Doragon Bōru Zetto: Fukkatsu no 'Efu'?)

dragon-ball-z-resurrectio.jpg

DRAGON BALL Z: RESURRECTION F (Doragon Boru Zetto: Fukkatsu no Efu) merupakan sekuel dari film sebelumnya, Dragon Ball Z: Battle of Gods, yang dirilis pada 2013 silam. Sekuel akan diarahkan oleh Tadayoshi Yamamuro dan ditulis oleh Akira Toriyama.

Adapun ceritanya tentang Frieza, yang dihidupkan kembali oleh anak buahnya dengan kekuatan Bola Naga. Setelah kembali hidup, dia datang ke bumi untuk membalas dendam kepada para Saiyan.
x240-gRb.jpg

x240-l1u.jpg

LINK DOWNLOAD

USERSCLOUD : DOWNLOAD
TUSFILES : DOWNLOAD


Minions (2015) HDTS + Subtitle Indonesia

minions-2015-poster-tease.jpg
Dunia pertama kali mengenal sekumpulan makhluk kecil berwarna kecil yang dikenal dengan sebutan minions ketika karakter-karakter tersebut hadir sebagai karakter pendukung pada film animasi produksi Illumination Entertainment, Despicable Me (Pierre Coffin dan Chris Renaud, 2010). Tidak hanya menjadi salah satu bagian terbaik dari Despicable Me, para minions berhasil mencuri jutaan hati para penikmat film tersebut yang kemudian menjadikan porsi penceritaan mereka meningkat secara signifikan ketika Despicable Me 2 dirilis tiga tahun kemudian. Kepopuleran minions yang cukup besar lantas mendorong para produser seri film Despicable Me untuk memproduksi sebuah film yang menjadikan minions sebagai bintang utamanya.

Namun apakah para karakter yang terbiasa hadir sebagai karakter pendukung tersebut memiliki daya tarik yang sama (atau bahkan lebih?) kuat ketika ditempatkan pada garda terdepan sebuah film? Tidak, sayangnya. Film Minions sendiri dimaksudkan untuk menjadi prekuel bagi seri Despicable Me dimana film ini mengisahkan tentang awal mula keberadaan minions sekaligus awal pertemuan mereka dengan Gru muda (Steve Carrell) yang kelak akan menjadi tuan mereka.

Dikisahkan, minions merupakan makhluk yang telah ada semenjak Bumi diciptakan. Keberadaan minions sendiri memiliki satu tujuan: untuk menjadi pelayan bagi seorang tuan dengan sikap yang begitu jahat. Setelah melayani Tyrannosaurus rex, manusia primitif, Genghis Khan, Napoleon Bonaparte dan seorang drakula, minions tidak lagi menemukan seseorang yang tepat untuk dapat mereka layani. Keadaan tersebut membuat mereka menjadi depresi dan memilih untuk mengisolasi diri mereka ke Antartika.

Tidak tahan dengan keadaan tersebut, tiga minion yang bernama Kevin, Stuart dan Bob (ketiganya diisisuarakan oleh Pierre Coffin) akhirnya memilih untuk melakukan perjalanan untuk menemukan seorang tuan yang baru. Setelah melalui beberapa rintangan, Kevin, Stuart dan Bob merasa mereka telah menemukan tuan yang tepat setelah berjumpa dengan seorang wanita penjahat yang kejam bernama Scarlett Overkill (Sandra Bullock).

Minions jelas memiliki penampilan yang cukup kuat untuk mengundang senyum atau bahkan tawa setiap penontonnya. Namun, dengan durasi penceritaan sepanjang 91 menit, penampilan lucu dari minions tersebut – yang dialognya hanya terdiri dari gumaman atau bentukan kata-kata yang kebanyakan tiada berarti – jelas tidak akan sanggup membuat film ini tampil menarik. Sayangnya, naskah cerita arahan Brian Lynch sepertinya benar-benar hanya mengandalkan guyonan khas minions untuk dapat menghibur penontonnya. Sebagian guyonan tersebut harus diakui masih mampu tampil lugas namun pada kebanyakan bagian guyonan-guyonan ciptaan Lynch gagal untuk tampil istimewa.

Daya tarik minions sebagai penghibur yang dahulu begitu mencuri perhatian dalam dua seri Despicable Me jelas terasa menghilang ketika “dieksploitasi” secara lebih luas. Seperti halnya ketiadaan seorang sosok tuan dalam kehidupan minions yang menyebabkan mereka merasa sengsara, naskah arahan Lynch juga gagal untuk tampil prima akibat ketiadaan karakter pendamping minions seperti karakter Gru dan ketiga anaknya dalam film ini.

Minions memang menyajikan karakter Scarlett Overkill, namun karakter tersebut hadir dengan karakterisasi dan porsi penceritaan yang terlalu minim untuk dapat mencuri perhatian penonton. Karakter pasangan suami istri yang berprofesi sebagai penjahat, Walter dan Madge Nelson, sebenarnya lebih sering tampil dengan plot penceritaan yang menarik. Namun peran keduanya yang hanya tampil sebagai karakter pendukung sekunder jelas membuat kehadiran mereka lebih minim dengan fungsi penceritaan yang tidak terlalu berkembang.

Tidak sepenuhnya buruk. Selain dari beberapa guyonannya yang masih mampu memancing senyum, duo sutradara Pierre Coffin dan Kyle Balda berhasil menyajikan pengisahan filmnya dengan ritme yang cepat – meskipun tidak berpengaruh banyak akibat lemahnya kualitas penulisan naskah cerita film. Paruh ketiga dari Minions jelas adalah bagian paling kuat dari penceritaan film dimana baik Coffin maupun Balda mampu mengeksekusi sisi aksi dalam pengisahan Minions dengan cukup apik.

Minions juga didukung dengan keberadaan deretan pengisi suara yang mampu memberikan karakter-karakter mereka identitas yang terasa unik dan begitu hidup. Lihat bagaimana pasangan Michael Keaton dan Allison Janney mampu membuat karakter Walter dan Madge Nelson menjadi begitu menarik. Atau Jennifer Saunders yang tampil jenaka dengan kemampuannya mengeksekusi setiap dialog yang dilontarkan karakter Queen Elizabeth II. Atau Geoffrey Rush yang mampu menjadi seorang narator yang baik dalam mewakili kisah perjalanan minions.

Sayang, penampilan suara dari Sandra Bullock dan Jon Hamm terasa gagal dalam memberikan karakter mereka penampilan yang lebih baik. Bukan salah Bullock maupun Hamm sepenuhnya karena karakter-karakter mereka memang tergambar dengan begitu sempit. Bukan sebuah film animasi yang menyenangkan – bahkan ketika Anda mengharapkan sebuah film animasi untuk hanya menjadi sebuah tontonan bagi para penonton muda.
maxresdefault15-1080x641.jpg

2421_DS_S0800P0430_0116R.jpg

MINONSG001_DS_S0400P0050_L_COMPO_RENDER_

LINK DOWNLOAD

USERSCLOUD : DOWNLOAD
TUSFILES : DOWNLOAD

SUBTITTLE


Dinosaur Island (2014) BluRay + Subtitle Indonesia

dinosaur-island.jpg
Beberapa siswa terdampar disebuah dunia yang penuh dengan kapal hantu dan hewan prasejarah.
ff-00004196-im-02landscape900x506.png

537812-b4820e70-a131-11e4-9b58-9db4d149c

dinosaur-island-2014-t-rex-pic-2.jpg

LINK DOWNLOAD

USERSCLOUD : DOWNLOAD
TUSFILES : DOWNLOAD

SUBTITTLE




Tuesday, May 26, 2015

The SpongeBob Movie: Sponge Out of Water (2015) BLuRay + Subtitle Indonesia

sponbr.jpg
Tidak bisa dipungkiri memang hal utama yang menjadikan film ini berhasil meraih atensi yang sangat besar adalah pilihannya untuk menghadirkan karakter-karakter yang sudah sangat familiar itu kedalam bentuk live action, memberikan penonton kesempatan untuk menyaksikan SpongeBob, Patrick, Squidward, Mr. Krabs, hingga Plankton tidak hanya melakukan aksi gila mereka di Bikini Bottom namun masuk ke dunia di atas mereka, menciptakan kekacauan yang lebih besar dengan wujud yang juga lebih besar. The SpongeBob Movie: Sponge Out of Water is a good entertainment with crazy good explosion. "Hilarious".

Plankton (Mr. Lawrence) kembali berurusan dengan SpongeBob SquarePants (Tom Kenny) dan Patrick Star (Bill Fagerbakke) karena ia berniat untuk mendapatkan resep rahasia milik Mr. Krabs (Clancy Brown). Tapi suatu ketika resep rahasia yang tertulis di selembar kertas itu tiba-tiba menghilang, dan menariknya hal tersebut menimbulkan kehebohan besar bukan hanya pada SpongeBob dan Patrick tapi juga melibatkan Squidward (Rodger Bumpass) serta Sandy (Carolyn Lawrence). Penyebabnya adalah sebuah fakta bahwa lembar rahasi itu ternyata merupakan bagian dari buku ajaib yang hendak digunakan oleh bajak laut Burger-Beard (Antonio Banderas) untuk menuliskan segala keinginan jahat yang ingin ia lakukan.

You don’t have to be a die-hard fan to love this funny mess. Dengan sinopsis standard lalu kemudian berjalan dengan plot yang sangat tipis film ini masih mampu memberikan sebuah petualangan selama satu setengah jam yang cukup menyenangkan, seperti kumpul bersama teman-teman dekat dimana kamu dapat bercanda dan tertawa lepas dengan segala hal-hal konyol didalam sebuah taman hiburan.

Ya, menyaksikan film ini ibarat mengikuti tur SpongeBob dan teman-temannya dengan berpindah-pindah dari satu wahana menuju wahana lainnya dengan cepat, masuk ke sebuah wahana lalu bertemu dengan lelucon hingga slapstick yang mampu membuat kamu tersenyum tapi dalam waktu singkat lantas berpindah menuju wahana lainnya. Seperti sebuah rollercoaster yang terus memompa kamu para penontonnya, Paul Tibbitt berhasil memberikan apa yang kita inginkan dari SpongeBob dan teman-temannya.

Hal yang paling menarik dari film ini adalah meskipun ia memiliki banyak karater yang sudah sangat familiar bahkan punya popularitas yang tinggi dan dicintai banyak orang, saya tidak begitu yakin apakah film ini bisa menghibur semua golongan usia. Memang banyak lelucon ringan yang mampu menghasilkan tawa sehingga akan membuat penonton dewasa tidak merasa rugi mengikuti cerita bergerak, tapi seperti yang kita ketahui bersama SpongeBob dan teman-temannya punya satu ciri khas yang membuat kita mencintai mereka, aksi hiperaktif yang tampil dalam waktu singkat dan lalu diakhiri dengan sebuah hit yang manis.

Nah, kamu bayangkan saja hal tersebut hadir dalam durasi yang jauh lebih panjang. Bukan masalah yang besar memang apabila sejak awal hingga ketika berakhir ia terus berada di kualitas yang sama, tapi film ini mengalami naik dan turun yang, well, cukup frontal. The SpongeBob Movie: Sponge Out of Water punya momen yang sangat lucu, tapi ketika ia tidak lucu kamu akan merasakan kelelahan yang ia miliki. Meskipun kamu sejak awal tidak berniat mengambil segala sesuatu yang ia berikan secara serius tapi sulit untuk menampik film ini juga punya beberapa momen miss yang cukup memorable.

Energi yang film ini berikan tidak stabil sehingga ia tidak punya alur yang dinamis untuk menjaga ketertarikan penonton pada apa yang akan terjadi selanjutnya. Ada satu hal yang layak kamu antisipasi dari film ini, kamu harus benar-benar terikat dengan pesona karakter karena jika suatu ketika pesona itu berkurang maka rasa lelah mungkin akan datang menghampiri. Tunggu dulu, kelemahan itu tidak lantas membuat semua menjadi kacau, bahkan ia akan terasa minor jika kamu hanyut bersama visual yang mampu memberikan kepadatan yang meyakinkan, hal yang tidak dimiliki oleh cerita.

Usaha Paul Tibbitt dan timnya yang seperti ingin terus mengguyur penonton dengan hal-hal menyenangkan berhasil di sektor visual termasuk didalamnya elemen live-action world yang mampu memberikan imajinasi menarik dari masing-masing karakter, meskipun kualitas 3D cukup berimbang cenderung tidak istimewa. Begitupula dengan pengisi suara yang mampu memberikan kehidupan pada karakter dalam menjual berbagai lelucon kepada penontonnya.

Sponge Out of Water memang berhasil memberikan tawa lepas yang menyenangkan bersama visual yang manis, tapi jika ketika ia tampil di televisi kamu memperoleh beberapa pesan terkait persahabatan misalnya disini kualitas isu "teamwork" yang ia bawa tidak mumpuni. A good entertainment, ia memang berhasil memberikan apa yang kita inginkan dari SpongeBob dan teman-temannya tapi petualangan penuh hingar-bingar dengan segala aksi hiperaktif itu terasa overdo, dan jangan heran ketika selesai menonton senyuman yang kamu peroleh akan bersanding dengan rasa lelah. Don't say I didn't say I didn't warn ya, it’s surprisingly segmented.
Review%2BThe%2BSpongeBob%2BMovie%2BSpong

Review%2BThe%2BSpongeBob%2BMovie%2BSpong

Review%2BThe%2BSpongeBob%2BMovie%2BSpong

LINK DOWNLOAD

USERSCLOUD : DOWNLOAD
TUSFILES : DOWNLOAD
UPFILE : DOWNLOAD

SUBTITTLE


Kukejar Cinta ke Negeri Cina (2014) DVDRip

kukejarcintakenegericina.jpg
Imam (Adipati Dolken), mahasiswa abadi, nyaris tidak melakukan kewajibannya sebagai muslim. Kekasihnya Widya (Nina Zatulini), adik kelasnya, sudah selesai kuliah dan kerja. Widya tidak sabar karena Imam belum juga lulus, sebaliknya Imam kecewa karena Widya harus berpakaian kantor yang sexy. Ketika Imam menemani sahabatnya Billy (Ernest Prakasa) ke kelenteng Sam Po Khong, dia berkenalan dengan Chen Jia Li (Eriska Rein), wanita muslim dari Cina yang berlibur ke tempat leluhurnya sebelum berkhitbah dengan Ma Fu Hsien (Mithu NIsar), pemilik padepokan Wing Chun dan Pesantren di Beijing.

Imam terpesona keramahan dan keanggunan Chen Jia Li yang berhijab. Kenyamanan yang dirasa Imam membuatnya betah bersama Chen Jia Li. Imam memilih putus dengan Widya dan siap menyatakan cintanya ke Chen Jia Li. Terlambat. Chen Jia Li sudah kembali ke Cina. Widya minta maaf dan berjanji memperbaiki sikapnya. Tapi Imam malah menyusul Chen Jia Li ke Cina bersama Billy. Sesampai di Beijing Imam bertekad melamar Chen Jia Li.

Namun, Imam kecewa mengetahui Chen Jia Li sedang khitbah dengan Ma Fu Hsien. Imam tidak menyerah, dia mengikuti saran sahabatnya untuk “meminta” Chen Jia Li dari tunangannya. Chen Jia Li bimbang, dia menyukai Imam tapi tidak ada alasan untuk tidak menerima Ma Fu Hsien. Saat Imam berharap, Widya menyusulnya ke Beijing. Widya memakai hijab, dan ingin hubungannya dengan Imam kembali seperti dulu.
kukejar-cinta-ke-negeri-cina_20141102_10

kukejar-cinta-ke-negeri-china.jpg

141757792044646_500x349.jpg

LINK DOWNLOAD

USERSCLOUD : DOWNLOAD
TUSFILES : DOWNLOAD
UPFILE : DOWNLOAD



Home (2015) WEB-DL + Subtitle Indonesia

home2015web.jpg
DreamWorks Animation sepertinya masih berusaha untuk tidak menciptakan kesan terombang-ambing dari makna sesungguhnya dibalik nama yang mereka miliki, dimana film karya studio animasi yang menjadi pesaing serius bagi Disney dan Pixar ini masih belum mampu menciptakan image bagi penonton “film Dreamworks, pasti menawan.” Mimpi yang mereka ciptakan tidak selalu berhasil menciptakan hit di titik tertinggi, terlepas dari Shrek, Kung Fu Panda, dan How to Train Your Dragon, Dreamworks lebih sering menelurkan animasi standard yang akan dikenang karena warna-warna indah yang mereka berikan. Home, satu-satunya rilisan Dreamworks tahun ini, bergabung kedalam kelas tadi.

The Boov harus merasakan dampak dari rasa takut mereka yang mudah datang, sehingga setiap kali musuh bebuyutan mereka The Gorg menemukan tempat mereka bersembunyi The Boov terpaksa harus melarikan diri menuju planet baru. Kali ini di bawah komando Captain Smek (Steve Martin) mereka memilih bumi sebagai planet baru yang bukan hanya menjadi tempat persembunyian. Namun menariknya adalah masalah bagi The Boov tidak hanya datang dari lingkungan luar mereka saja, namun juga dari kaum mereka sendiri melalui salah satu Boov bernama Oh (Jim Parsons) yang melakukan kesalahan kecil namun fatal.

Merangkum Home kedalam sebuah kalimat sangat mudah: film animasi yang tidak akan memberikan kamu kejutan karena pada dasarnya sejak awal ia tidak mencoba menghadirkan kejutan. Home seperti tidak diberikan ambisi yang begitu besar oleh Dreamworks, melemparkan hal-hal konyol yang memang bukan merupakan hal tabu pada sebuah film animasi tapi disini tidak mereka damping dengan elemen lain yang mampu membuat kamu para penonton untuk klik dengan karakter dan cerita, dan tentu saja berakhir dengan mengagumi mereka.

Home tentu saja akan sangat mudah untuk dinikmati oleh penonton muda tapi dengan standard yang telah diciptakan beberapa film animasi pada unsur cerita sungguh memalukan bagaimana Dreamworks lupa bahwa cerita yang hambar menjadi salah satu hal yang harus mereka hindari sekarang ini. Iya, ini hambar meskipun tidak sepenuhnya membosankan. Visual bekerja dengan sangat baik disini, penuh warna yang memanjakan mata namun sayangnya tidak mampu mendukung karakter-karakter cukup menarik itu untuk bisa mempertahankan atensi penonton.

Home tidak mampu untuk terus membuat kamu untuk tertarik pada apa yang akan Oh dan Tip hadapi selanjutnya, membuat mereka bergerak menuju garis akhir menggunakan banyak komedi sederhana yang hit dan miss sehingga perlahan membuat rasa frustasi terus bertumbuh. Ini yang menjengkelkan karena jika tidak dibantu dengan kualitas visual menawan itu film ini akan berada dikelas yang sama dengan mayoritas animasi direct-to-video, petualangan datar yang gagal menggambarkan berbagai pesan menarik yang ia bawa.

Home bukan sebuah animasi yang kosong pada elemen cerita, ada upaya penggambaran dari pelajaran sederhana seperti sikap pengertian misalnya, lalu pengorbanan dan sikap berani, dan yang paling klasik tentang keluarga, tapi mereka tampil canggung didalam alur cerita, terus meraba-raba pada materi yang ingin mereka gunakan sebagai senjata utama. Ambisius dalam memberikan berbagai pesan tapi tidak disertai dengan eksekusi juga sama ambisiusnya, itu yang menjadi kelemahan terbesar dari Home, dan akhirnya membuat kamu berputar-putar bersama visual dan lelucon tanpa henti yang lama kelamaan akan terasa menjemukan.

Oh, itu belum mengikutsertakan bagaimana karakter juga terasa menjengkelkan, voicework yang mayoritas terasa miss dan tidak menciptakan karakterisasi yang mumpuni karena semata-mata mengandalkan bankability. Permen akan terasa mengasyikkan untuk dikonsumsi jika ia mampu memberikan konsumen rasa yang membuat mereka terus menerus tertarik untuk menikmatinya. Home adalah permen yang tidak memiliki rasa tersebut, visual menawan yang akan mudah memanjakan mata penonton muda bahkan dewasa, tapi usahanya dengan mengandalkan limpahan lelucon untuk membuat kamu duduk manis hingga garis finish ternyata kurang berhasil.
Home%2B(2015)%2Bimage%2Bstills%2B4.jpg

Home%2B(2015)%2Bimage%2Bstills%2B6.jpg

Home%2B(2015)%2Bimage%2Bstills%2B5.jpg

LINK DOWNLOAD

USERSCLOUD : DOWNLOAD
TUSFILES : DOWNLOAD
UPFILE : DOWNLOAD

SUBTITTLE

The Taking of Tiger Mountain (2014) BluRay + Subtitle Indonesia

taking-tiger-2014.jpg
Film ini berdasarkan kejadian pada peristiwa sebenarnya yang tertulis dalam novel 'Tracks in the Snowy Forest' karya Qu Bo. "The Taking of Tiger Mountain" akan mengisahkan sekelompok kecil dari prajurit yang terpilih untuk masuk kedalam gunung salju untuk mencari para penjahat. Penjahat yang mereka cari sangat berbahaya, disamping itu penjalanan mereka di dalam gunung salju juga tidak mudah.
4_7.jpg

7916945514871891373.jpg

tigermountainpix.jpg

LINK DOWNLOAD

USERSCLOUD : DOWNLOAD
TUSFILE : DOWNLOAD

SUBTITTLE

Supergirl (2015) Episode 1 + Subtitle Indonesia

supergirl-2015.jpg
Kisah sepupu Superman diawali cerita singkat Kara Zor-El kecil yang dievakuasi oleh ayah dan ibunya ke bumi ketika planet Kryptonite yang mereka huni kiamat dan hancur lebur. Berbeda dengan Superman atau Kal-El, hampir seluruh kenangan kehancuran Kryptonite melekat dalam ingatan Kara.

Namun, setelah dewasa Kara (diperankan oleh Mellisa Benoist) mencoba hidup normal sebagai asisten seorang penerbit yang kikuk, Calista Flockhart. Layaknya pekerja kantoran, Kara ditampilkan sebagai wanita yang super sibuk dan kerap kewalahan menghadapi atasannya.

Singkat cerita, Kara mulai menunjukkan kekuatannya sebagai Supergirl ketika pesawat yang ditumpangi sahabatnya menuju Jenewa mengalami kerusakan mesin. Seketika itu Kara yang berada ditengah kota langsung berlari dan terbang untuk menahan pesawat agar takmenghujam bumi. Spontan aksi heroik Kara mulai jadi perbincangan di berbagai media massa. Karena itu Kara disarankan untuk merahasiakan kekuatan super dan identitasnya dengan mengenakan kostum khusus.

Akhirnya, dibantu oleh rekan seprofesinya dari kantor penerbit tempat dia bekerja, Kara mulaimerancang kostum Supergirl. Mulai dari yang seksi, tanpa sayap, hingga kostum bersayap dengan simbol "S" yang ia kenakan untuk menjaga serangan para penjahat dari dalam dan luar planet bumi. "Ini bukan 'S' yang berarti super, tetapi 'S' ini adalah simbol keluargaku," kata Kara.
supergirl_2015.jpg


LINK DOWNLOAD

USERSCLOUD : DOWNLOAD
TUSFILES : DOWNLOAD


SUBTITTLE

Monday, May 18, 2015

Ex Machina (2015) DVDRip + Subtitle Indonesia

ex-machina-2015-poster.jpg

Perkembangan teknologi semakin hari sebenarnya bukan hanya semakin membantu dan memudahkan manusia dalam berbagai aktifitas yang mereka lakukan, karena disisi lain pertumbuhan mereka juga seperti spy atau bahkan alien yang sedang mengintai para manusia untuk suatu saat melakukan invasi dan berada di posisi yang lebih tinggi. Kecemasan pada digital dan teknologi itu yang coba digambarkan oleh Alex Garland dalam debutnya sebagai sutradara, Ex Machina, sebuah sci-fi thriller dengan ide dan materi yang sangat familiar namun sejak awal hingga akhir tidak pernah membuat penontonnya duduk tanpa ditemani provokasi yang bergelora. Well, it’ll leave you breathless.

Caleb (Domhnall Gleeson) merupakan seorang coder yang berhasil memenangkan sebuah kontes dimana hadiahnya berupa kesempatan untuk selama satu minggu berada didalam sebuah kompleks penelitian rahasia milik pria kaya dan jenius bernama Nathan (Oscar Isaac). Kehadiran Caleb bukan sebatas untuk menyaksikan dan mengagumi fasilitas canggih milik Nathan karena ia juga diminta untuk membantu Nathan untuk terlibat pada pengujian seberapa nyata sebuah eksperimen AI yang sedang ia bangun, robot wanita yang ia sebut Ava (Alicia Vikander), yang celakanya justru menghadirkan dilema bagi Caleb lewat sebuah permintaan sederhana untuk tidak menaruh rasa percaya pada Nathan.

Ex Machina berhasil meninggalkan sebuah rasa sesak yang mengasyikkan, sebuah sci-fi yang sesungguhnya sedari sinopsis sangat jelas tidak memberikan kamu materi yang benar-benar baru apalagi segar tapi ditangan Alex Garland (28 Days Later, Sunshine, 28 Days Later, Never Let Me Go, Dredd) berhasil memutar-mutar penontonnya baik itu dari logika, perasaan, hingga emosi dengan cara yang menyenangkan.

Hal langka dari sebuah sci-fi itu bukan hanya daya tarik satu-satunya dari Ex Machina, tapi secara garis besar hal tersebut merupakan kunci dari kesuksesan Ex Machina untuk menjadi sci-fi yang manis tidak hanya ketika ia hadir di layar, ia akan meninggalkan kamu dengan memori yang cantik. Iya, cantik, sepintas tampak seperti melodrama karena karakter terlihat hanya nongkrong bersama tapi dibalik itu ia memberikan kamu kesempatan untuk bermain-main dengan interpretasi liar terhadap isu yang ia berikan.

Pertanyaan yang Alex Garland gunakan disini sederhana, cara ia mengolah materi tersebut juga tidak luar biasa, tapi dengan eksekusi yang begitu presisi pertanyaan moral mengenai konsep kecerdasan buatan serta teori-teori tentang hubungan Tuhan dan manusia bahkan antara pria dan wanita meninggalkan ruang eksplorasi yang begitu terbuka sehingga kesan misterius tidak pernah meninggalkan penonton tanpa didampingi thrill yang menggigit. Ex Machina tidak hanya melemparkan pertanyaan dan mempersilahkan penonton untuk mengamati, ia memaksa secara halus kita untuk terlibat dan terjebak lebih jauh dalam teka-teki penuh sensasi mumpuni.

Itu yang mengejutkan karena pada dasarnya Ex Machina hanyalah sebuah drama kecil tapi hasil yang ia berikan berada di level yang sama bahkan lebih tinggi jika dibandingkan dengan beberapa sci-fi blockbuster dengan budget super besar. Keunggulan itu tercipta karena Alex Garland mampu menjaga tiga bagian yang di sebutkan diawal tadi untuk berjalan bersama, serupa seperti yang dilakukan oleh Spike Jonze di Her, pertanyaan sederhana dalam ide yang abstrak tapi ia eksplorasi dengan dengan dinamis, memprovokasi tapi dengan tampilan seksi sehingga kerumitan itu tidak membingungkan dan mengurangi ketertarikan kita pada apa yang akan terjadi selanjutnya, malah sebaliknya, lapisan-lapisan yang terkontrol membuat pertanyaan utama terus bertarung di pikiran penontonnya, dari obsesi bahkan manipulasi yang dibeberapa titik bahkan mampu membuat penontonya bertanya bagaiman jika ini bukan fiksi?

Penampilan dari aktor juga tidak kalah menarik, Domhnall Gleeson membuat kita bertanya-tanya tentang emosi miliknya, Alicia Vikander menghadirkan tipu muslihat dan daya tarik yang powerful, begitupula dengan kinerja Oscar Isaac yang begitu energik dan menjadi salah satu senjata untuk mengusir rasa monoton untuk hadir didalam cerita yang memilih berjalan dengan tempo yang tenang itu. Permainan psikologi yang di set-up oleh Alex Gartland berhasil di jalankan dengan baik oleh tiga pemeran utama itu, dan itu masih belum menghitung Sonoya Mizuno yang tampil efektif sebagai Kyoko. Hal yang sama juga akan kamu temukan di sisi teknis, tidak megah tapi berhasil menyatu dengan manis bersama cerita, efek visual yang dimiliki oleh Ex Machina terasa mulus terutama pada karakter Ava, begitupula dengan score yang terasa haunting.

Ex Machina adalah sebuah kemasan yang selalu di inginkan oleh para pecinta sci-fi, mempermainkan mereka dengan ide terkait sains tapi tidak semata-mata terpaku pada hal tersebut sehingga mereka tidak hanya dipermainkan ketika film tersebut hadir di layar, mereka pulang dengan pertanyaan menarik hasil provokasi yang baru saja mereka saksikan. Seperti Her yang tampil dengan thrill yang menegangkan, Ex Machina merupakan penggambaran yang mampu mempermainkan serta menghantui pikiran dan perasaan penonton secara bersamaan dan sama baiknya, sebuah sci-fi yang memutar-mutar ide klasik tentang evolusi kecerdasan buatan dengan cara yang manis dan menawan. Segmented.

machina_a.jpg
ex-machina-2015-09.jpg
Ex-Machina-Download-Wallpapers.jpg

LINK DOWNLOAD

USERSCLOUD : DOWNLOAD
TUSFILES : DOWNLOAD
UPFILE : DOWNLOAD

SUBTITTLE


Chappie (2015) WEB-DL + Subtitle Indonesia

chappie-2015-dl.jpg

Sebuah kalimat klasik mengatakan bahwa mempertahankan sesuatu yang telah berhasil anda dapatkan akan selalu lebih sulit ketimbang perjuangan ketika anda sedang berupaya untuk meraihnya. Hal tersebut yang kini sedang dialami oleh Neill Blomkamp ketika enam tahun lalu pria asal Afrika Selatan itu berhasil mencuri perhatian skala besar lewat District 9 (empat nominasi Oscars) yang merupakan debut feature film Blomkamp, namun empat tahun kemudian kualitasnya mulai dipertanyakan ketika Elysium hanya sebatas menjadi sebuah sci-fi standard yang kurang dinamis. So, bagaimana dengan film ketiganya ini? Chappie: charming and pall pandemonium pie.

Tindakan kejahatan tidak lagi menjadi sesuatu yang mencemaskan bagi penduduk di kota Johannesburg karena berkat penemuan pria bernama Deon Wilson (Dev Patel) aksi kriminal dapat dimusnahkan dengan cepat. Deon berhasil menciptakan robot yang dapat digerakkan dengan sistem untuk kemudian berurusan dengan para penjahat, rancangan yang berhasil membuat perusahaan tempat ia bekerja Tetra Vaal yang berada dibawah komando Michelle Bradley (Sigourney Weaver) menjadi mitra yang begitu dicintai oleh polisi.

Namun ternyata didalam Tetra Vaal juga telah lahir sumber masalah yang seolah menanti waktu yang tepat untuk meledak. Yang pertama berasal dari pria bernama Vincent Moore (Hugh Jackman) yang merasa sakit hati karena proyek tandingan yang ia namai Moose mati suri akibat ide cemerlang milik Deon tadi. Yang kedua berasal dari momen ketika Deon ingin menjadikan robot-robot tersebut lebih “manusia” namun ditolak oleh Michelle, hal yang kemudian menyebabkan Deon nekat untuk melakukan eksperimen ilegal dengan memanfaatkan sebuah robot yang telah rusak.

Celakanya dalam perjalanan pulang Deon bertemu dengan tiga penjahat, Ninja (Watkin Tudor Jones/Ninja), Yolandi (Yolandi Visser), dan Yankie (Jose Pablo Cantillo) yang memaksa Deon melakukan program ulang pada robot yang kemudian bernama CHAPPiE (Sharlto Copley) itu agar dapat bekerja dibawah kendali mereka.

Oke, mari buka review ini dengan menggunakan kalimat di paragraf pertama tadi, charming and pall pandemonium pie. Chappie memang merupakan kemasan yang cukup lemah, itu sangat jelas dan tidak peduli seberapa besar rasa kagum anda pada pesona yang mampu Neill Blomkamp suntikkan kepada tokoh utama miliknya itu anda akan merasakan sebuah grafik menurun yang ia tunjukkan ketika semakin menjauh dari garis start. Penyebabnya? Sangat sederhana sebenarnya dimana Neill Blomkamp seperti kembali melakukan daur ulang pada apa yang pernah ia lakukan di dua film terdahulunya.

Pondasi utamanya memang sebuah film pendek berjudul Tetra Vaal namun ini seperti meminjam beberapa bagian kecil dari District 9, meminjam beberapa bagian lagi dari Elysium, lalu kombinasikan mereka bersama beberapa materi baru yang meskipun tidak begitu segar namun celakanya mampu menciptakan arena bermain yang menarik. Ya, tidak begitu segar, manusia menciptakan teknologi, lalu setelah itu manusia berada dibawah ancaman teknologi dengan kemampuan immortality, namun secara mengejutkan isu klasik dari film sci-fi itu tidak terasa menjengkelkan disini.

Hal tersebut tercapai berkat keputusan Neill Blomkamp sendiri yang sejak awal seperti ingin menjejali cerita dengan beberapa konflik dan isu kecil, dari isu kesadaran manusia, jiwa dan moralitas, jealousy, persaingan, persahabatan, pendidikan, hingga puncaknya kasih sayang yang diperoleh seorang anak dari orangtua mereka, terutama ibu. Hal terakhir itu benar-benar mempesona disini yang jika sejak awal telah mampu membuat anda terikat dengannya maka akan semakin memudahkan anda untuk menikmati sisi indah dari Chappie.

Ya, itu adalah cara termudah untuk membuat Chappie terlihat mempesona karena yang eksis disekitarnya adalah sebuah perpaduan antara petualangan dinamis bersama kekacauan konyol yang juga berada di zona abu-abu. Benar, kekacauan yang konyol, meskipun tidak hadir dalam kuantitas yang besar namun kualitas yang mereka miliki punya potensi untuk mampu meninggalkan impresi yang cukup mengganggu. Salah satu masalah terbesar dari film ini adalah ketika Neill Blomkamp seperti rakus atau terlalu berambisi untuk menjadikan agar isu-isu yang ia bawa tadi membekas di memori penonton. Hasilnya adalah pergeseran warna cerita yang terasa sangat tajam, dan celakanya bukan hanya terjadi satu atau dua kali, seperti contoh termudah antara komedi dan drama dimana dua bagian tersebut seperti digantung di dua tiang yang berbeda.

Dampak lainnya juga cukup signifikan, cerita melompat sesuka hati antara drama dan komedi sehingga menghalangi karakter untuk bersinar, bahkan simpati dan empati yang saya rasakan hanya berasal dari isu orangtua dan anak, di bagian lain sulit untuk merasakan hadirnya intimitas bahkan rasa peduli yang benar-benar kuat pada apa yang akan terjadi selanjutnya. Komposisi cerita yang ia miliki memang cukup kacau, dan daya tarik di beberapa elemen juga memiliki potensi yang besar untuk perlahan memudar, tapi meskipun tidak super lezat Chappie pada akhirnya berhasil menjadi sebuah kue yang terasa enak.

Nilai positif berasal pada kemampuan Neill Blomkamp menjaga pesona karakter utama di tengah hiruk-pikuk absurditas yang ia bentuk disekelilingnya. Karakter Chappie punya appeal yang mampu membuat penonton terikat dengan perjuangannya dalam berkenalan dengan dunia, sembari berjalan mondar-mandir ia juga mampu merangkul berbagai isu kecil tadi untuk setidaknya tertangkap oleh penonton meskipun tidak semua ia dorong untuk bergerak terlalu dalam. Hal menarik lainnya adalah meskipun lemah di cerita tapi Blomkamp masih tampil kuat ketika mengarahkan masalah kontemporer untuk bergerak penuh energi, sokongan sisi teknis juga oke seperti kombinasi visual dan score misalnya yang sangat efektif memompa tensi dan menyuntikkan rasa dinamis kedalam gerak cerita.

Seandainya Neill Blomkamp mau untuk sedikit menekan ambisinya pada kuantitas isu yang terlalu gemuk itu, mungkin Chappie akan lebih mudah untuk menjangkau hati banyak penonton, beberapa diantara mereka juga faktanya telah ia gunakan di dua film terdahulu. Jika ia memberikan push yang lebih dalam pada isu relationship anak dan orangtua hasilnya mungkin akan lebih baik, karena disamping Chappie punya pesona yang mumpuni sebagai seorang anak kecil yang sedang belajar mengenal kejamnya dunia karakter orangtua yang dimainkan oleh Yolandi Visser juga cukup mampu memancarkan kasih sayang orangtua, walaupun masih mentah. Dan well ini akan terkesan kasar tapi selain Sharlto Copley dan Yolandi tidak ada pemeran lain yang tampil menarik, Ninja tampil kaku, Sigourney Weaver hanya pemanis, Dev Patel seperti kehilangan momentum di bagian tengah cerita, dan Hugh Jackman kurang berhasil menjadi villain dan kehadirannya lebih tampak seperti tamu yang tidak diundang.

Overall, Chappie adalah film yang cukup memuaskan. Ekpektasi sempat meningkat ketika kemunculan berita bahwa Neill Blomkamp akan mengendalikan film terbaru Alien, namun Chappie ternyata tidak berhasil duduk sejajar dengan District 9 walaupun setidaknya ini mampu memberikan grafik naik bagi Blomkamp setelah Elysium. Script terlalu empuk namun celakanya memiliki isi yang tidak sesederhana sinopsis miliknya, namun dengan eksekusi yang cerdik Neill Blomkamp mampu mengarahkan materi yang sangat familiar tadi menjadi sebuah mess adventure yang bergerak dinamis sehingga mampu menjaga minus konyol miliknya untuk hanya mengganggu namun tidak merusak. Seandainya ia tidak terlalu rakus dengan mencoba melakukan banyak hal Chappie dapat meninggalkan penontonnya dengan impresi yang lebih mengagumkan. Guys, if you are lucky enough to have a parent or two alive on this planet, call them!
maxresdefault3.jpg

SJC_0077-0430_comp_marketingFrames_nativ

chappie-action-xlarge.jpg

LINK DOWNLOAD

USERSCLOUD : DOWNLOAD
TUSFILES : DOWNLOAD
UPFILE : DOWNLOAD

SUBTITTLE

Thursday, May 14, 2015

American Sniper (2014) BluRay + Subtitle Indonesia

american-sniper.jpg

“American Sniper” merupakan cerita dari kisah nyata US Navy SEAL, bernama Chris Kyle. Nama Chris Kyle sangat melegenda, karena dengan kehebatan dan kelihaian menembaknya dia sampai memiliki julukan “Al-Shaitan” atau “The Devil” dari Irak.

Suatu ketika Chris Kyle di hadapkan dengan posisi dan kondisi mengintai seorang pria yang diduga teroris, tiba-tiba saja menghilang dan yang muncul adalah seorang wanita yang memberikan sebuah misil kepada seorang anak.

Dalam kondisi ini, Chris Kyle dihadapkan pada perdebatan batin karena ingatannya terhadap kelahiran anaknya yang membuat dia untuk harus menembak anak tersebut atau membiarkannya berlari menyerang ke camp teman-temannya.


AMERICAN-SNIPER.jpg

United_States_Navy_SEALs_624-1024x731.jp

LINK DOWNLOAD

USERSCLOUD : DOWNLOAD
TUSFILES : DOWNLOAD

SUBTITTLE