Setiap permulaan punya sebuah akhir,
beruntung tidak seperti yang dilakukan Hollywood ketika memperlakukan
triloginya belakangan ini, penontonnya tidak perlu menunggu sampai
setahun penuh lamanya untuk melihat akhir dari petualangan versi
live-action Rurouni Kenshin di layar lebar, terhitung hanya sebulan lebih sedikit sejak penayangan instalemen ke-duanya; Kyoto Inferno, The Legend Ends datang dan mengakhiri salah satu saga adaptasi manga terbaik yang pernah dibuat.
Langsung melanjutkan cerita yang tertinggal dari Kyoto Inferno. Kita tahu apa yang terjadi di akhir seri ke-duanya itu. Kenshin terdampar di pinggir pantai setelah sebelumnya ia di hajar habis-habisan oleh Shishio dan gank Juppongata di kapal perangnya ketika berusaha menyelamatkan Kaouru. Merasa ilmu pedangnya masih belum ada apa-apanya dengan Shisio, bahkan ia harus kewalahan melawan si kecil Soujiro, Kenshin kemudian meminta gurunya, Hiko Seijuro (Masaharu Fukuyama) untuk mengajarkannya jurus pamungkas Hitten Mitsurugi. Sementara di tempat lain, Shisio dan kapal perangnya bergerak untuk menghancurkan Tokyo.
Untuk sebuah finale yang ditunggu-tunggu tentu saja The Legend Ends menghadirkan segunung ekspektasi buat penontonnya, khususnya para fans manga dan animenya. Kyoto Inferno itu ibarat bercinta tanpa ejakulasi, klimaksnya yang nanggung lebih meninggalkan rasa gemas ketimbang puas karena terbentur durasi. Jadi pastinya semua akan menunggu The Legend Ends, seri di mana semuanya akan berakhir untuk selamanya, seri di mana pertarungan antara dua eks Battosai legendaris; Kenshin Vs. Shisio yang paling ditunggu-tunggu itu datang. Tetapi sebelum sampai di sana, penontonnya harus bersabar karena sepertinya sutradara Keishi Ōtomo masih akan berputar-putar ke sana ke mari sebelum membuat kita bisa mencicipi klimaksnya.
Jujur saja, untuk sebuah babak pemungkas dari trilogi besar, The Legend Ends memulainya dengan bertele-tele. Seperti tidak cukup dengan dua seri yang sudah menjadi dasarnya, Ōtomo masih mengulangi kesalahan yang sama, terlalu berkutat pada Kenshin dan Shisio dengan plot yang bertele-tele, meninggalkan begitu saja karakter yang sebenarnya penting, membuatnya tidak lebih dari stiker pemanis. Padahal bisa saja dengan durasi sepanjang itu, Ōtomo bisa saja memberi porsi lebih buat tokoh-tokoh lain misalnya seperti Sanosuke yang sebelumnya sudah disia-siakan di Kyoto Inferno, padahal di anime dan manga-nya ada momen menarik di mana Sanosuke mendapat ilmu tinjunya yang mematikan.
Setelah hampir separuh durasinya seperti berjalan merangkak, dipenuhi oleh cerita dari Kenshin yang memperkuat dirinya dengan bimbingan sang guru serta sedikit pertarungan dengan Aoshi yang sempat teringgal di Kyoto Inferno, Ōtomo langsung tancap gas. Ya, tempo memang menjadi lebih cepat setelah momen eksekusi yang berakhir dramatis, sayang pertarungan dengan kelompok Juppongata bisa dibilang mengecewakan. Hanya Seta Soujiro yang bisa dibilang mendapatkan perlakuan istimewa ketika ia harus kembali berhadapan dengan Kenshin yang mendapatkan upgrade ilmu. Sementara anggota Juppongata lain bisa dibilang hanya sekedar pemanis yang dengan sangat cepat dan mudahnya dikalahkan.
Tetapi segala kekecewaan di awalnya itu akan dibayar lunas oleh Ōtomo. Puncaknya, The Legend Ends menghadirkan sebuah final battle spektakuler yang akan membuat para penontonnya. Ya, lokasinya yang berada di dalam kapal memang tidak sama seperti manga atau anime-nya yang berakhir di gunung Hiei Kyoto, membuat kemunculan Aoshi yang segar bugar pasca dihajar babak-belur oleh Kenshin juga menjadi terasa dipaksakan dengan kemunculan cepatnya.
Dua pertarungan cepat yang terjadi beruntun: Kenshin Vs. Soujiro dan Kenshin, Sanosuke, Aoshi, Saitō Vs. Shisio itu memang epik mandra guna. Kenshin Vs. Saoujiro dipenuhi dengan kecepatan dan kelincahan sebuah adu pedang cantik, sebuah re-match yang fantastis. Sementara foursome battle antara Kenshin and the gank melawan Shisio itu sulit untuk dilukiskan dengan kata-kata. Ya, itu mungkin adegan salah satu adegan pertarungan paling hebat yang pernah dibuat. Shisio benar-benar dihadirkan Ōtomo bak monster ganas yang sangat tangguh seperti versi aslinya, bahkan empat pendekar paling kuat Jepang saat itu saja kewahalan menghadapinya.
Pertarungan epik itu jelas tidak mungkin terjadi jika tidak didukung koreografi handal dari anak buah Donnie Yen, Kenji Tanigaki yang berhasil meracik setiap adegan baku hantamnya dengan sangat detil dan begitu keren, bahkan konon semua dilakukan tanpa melibatkan bantuan CGI (kecuali efek pedang api Shisio) bahkan kawat (wire) sekalipun.
Sumber
Langsung melanjutkan cerita yang tertinggal dari Kyoto Inferno. Kita tahu apa yang terjadi di akhir seri ke-duanya itu. Kenshin terdampar di pinggir pantai setelah sebelumnya ia di hajar habis-habisan oleh Shishio dan gank Juppongata di kapal perangnya ketika berusaha menyelamatkan Kaouru. Merasa ilmu pedangnya masih belum ada apa-apanya dengan Shisio, bahkan ia harus kewalahan melawan si kecil Soujiro, Kenshin kemudian meminta gurunya, Hiko Seijuro (Masaharu Fukuyama) untuk mengajarkannya jurus pamungkas Hitten Mitsurugi. Sementara di tempat lain, Shisio dan kapal perangnya bergerak untuk menghancurkan Tokyo.
Untuk sebuah finale yang ditunggu-tunggu tentu saja The Legend Ends menghadirkan segunung ekspektasi buat penontonnya, khususnya para fans manga dan animenya. Kyoto Inferno itu ibarat bercinta tanpa ejakulasi, klimaksnya yang nanggung lebih meninggalkan rasa gemas ketimbang puas karena terbentur durasi. Jadi pastinya semua akan menunggu The Legend Ends, seri di mana semuanya akan berakhir untuk selamanya, seri di mana pertarungan antara dua eks Battosai legendaris; Kenshin Vs. Shisio yang paling ditunggu-tunggu itu datang. Tetapi sebelum sampai di sana, penontonnya harus bersabar karena sepertinya sutradara Keishi Ōtomo masih akan berputar-putar ke sana ke mari sebelum membuat kita bisa mencicipi klimaksnya.
Jujur saja, untuk sebuah babak pemungkas dari trilogi besar, The Legend Ends memulainya dengan bertele-tele. Seperti tidak cukup dengan dua seri yang sudah menjadi dasarnya, Ōtomo masih mengulangi kesalahan yang sama, terlalu berkutat pada Kenshin dan Shisio dengan plot yang bertele-tele, meninggalkan begitu saja karakter yang sebenarnya penting, membuatnya tidak lebih dari stiker pemanis. Padahal bisa saja dengan durasi sepanjang itu, Ōtomo bisa saja memberi porsi lebih buat tokoh-tokoh lain misalnya seperti Sanosuke yang sebelumnya sudah disia-siakan di Kyoto Inferno, padahal di anime dan manga-nya ada momen menarik di mana Sanosuke mendapat ilmu tinjunya yang mematikan.
Setelah hampir separuh durasinya seperti berjalan merangkak, dipenuhi oleh cerita dari Kenshin yang memperkuat dirinya dengan bimbingan sang guru serta sedikit pertarungan dengan Aoshi yang sempat teringgal di Kyoto Inferno, Ōtomo langsung tancap gas. Ya, tempo memang menjadi lebih cepat setelah momen eksekusi yang berakhir dramatis, sayang pertarungan dengan kelompok Juppongata bisa dibilang mengecewakan. Hanya Seta Soujiro yang bisa dibilang mendapatkan perlakuan istimewa ketika ia harus kembali berhadapan dengan Kenshin yang mendapatkan upgrade ilmu. Sementara anggota Juppongata lain bisa dibilang hanya sekedar pemanis yang dengan sangat cepat dan mudahnya dikalahkan.
Tetapi segala kekecewaan di awalnya itu akan dibayar lunas oleh Ōtomo. Puncaknya, The Legend Ends menghadirkan sebuah final battle spektakuler yang akan membuat para penontonnya. Ya, lokasinya yang berada di dalam kapal memang tidak sama seperti manga atau anime-nya yang berakhir di gunung Hiei Kyoto, membuat kemunculan Aoshi yang segar bugar pasca dihajar babak-belur oleh Kenshin juga menjadi terasa dipaksakan dengan kemunculan cepatnya.
Dua pertarungan cepat yang terjadi beruntun: Kenshin Vs. Soujiro dan Kenshin, Sanosuke, Aoshi, Saitō Vs. Shisio itu memang epik mandra guna. Kenshin Vs. Saoujiro dipenuhi dengan kecepatan dan kelincahan sebuah adu pedang cantik, sebuah re-match yang fantastis. Sementara foursome battle antara Kenshin and the gank melawan Shisio itu sulit untuk dilukiskan dengan kata-kata. Ya, itu mungkin adegan salah satu adegan pertarungan paling hebat yang pernah dibuat. Shisio benar-benar dihadirkan Ōtomo bak monster ganas yang sangat tangguh seperti versi aslinya, bahkan empat pendekar paling kuat Jepang saat itu saja kewahalan menghadapinya.
Pertarungan epik itu jelas tidak mungkin terjadi jika tidak didukung koreografi handal dari anak buah Donnie Yen, Kenji Tanigaki yang berhasil meracik setiap adegan baku hantamnya dengan sangat detil dan begitu keren, bahkan konon semua dilakukan tanpa melibatkan bantuan CGI (kecuali efek pedang api Shisio) bahkan kawat (wire) sekalipun.
Sumber
LINK DOWNLOAD
SUBTITTLE
No comments:
Post a Comment