Saturday, April 30, 2016

Batman v Superman: Dawn of Justice (2016) HDTC + Subtitle Indonesia

Batman v Superman: Dawn of Justice (2016) HDTC + Subtitle Indonesia

 batman-vs-superman-6-post.jpg

 

Warner Bros. (akhirnya) memulai shared fictional universe DC Extended Universe di tahun 2013 lewat film Superman dengan judul Man of Steel, sedangkan kompetitor mereka, You-Know-Who, memulai “dunia” milik mereka di tahun 2008 dan tahun ini akan merilis film yang ke-14. DC mencoba mengejar dengan menjadikan film ini sebagai reboot Batman, sekuel Superman, perkenalan musuh besar, dan perkenalan superhero baru. Usaha yang ingin “cepat” tadi memang menghasilkan presentasi yang terasa jam-packed namun di sisi lain Batman v Superman: Dawn of Justice berhasil mencapai tujuan utama mereka: menjadi sebuah kata pengantar yang oke bagi DC Extended Universe. The greatest gladiator match in the history of the world?

Pertarungan destruktif antara dirinya dengan General Zod (Michael Shannon) menyebabkan Superman (Henry Cavill) kini harus menyandang status sebagai tokoh kontroversial di Metropolis. Tidak hanya masyarakat Metropolis yang marah pada Superman namun juga Bruce Wayne (Ben Affleck) mulai berusaha menemukan kelemahan Superman ketika ia beroperasi sebagai pahlawan kegelapan di Gotham City sebagai Batman. Bruce Wayne menilai bahwa Superman harus dihukum akibat pertarungannya dengan General Zod memakan banyak korban jiwa. Lex Luthor (Jesse Eisenberg), seorang pengusaha kaya ini juga berpikiran serupa dan tidak hanya sekedar mencoba untuk “menekan” Senator June Finch (Holly Hunter) namun sembari mendorong rencana lain miliknya yang lebih mematikan terkait kryptonite dan Zod.

Sejak pertama kali memperkenalkan dirinya film Batman v Superman sudah harus menghadapi track yang begitu mendaki, dari berbagai “lelucon” hingga sikap pesimis dari calon penontonnya. Memang Man of Steel menciptakan "dampak" yang cukup kuat sebagai pembuka DC Extended Universe namun satu hal yang harus diingat seperti yang disinggung di awal tadi bahwa DC Extended Universe baru memulai dunia mereka, ini adalah film kedua mereka. Yang menjadi masalah adalah di balik potensi dari karakter-karakter besar yang mereka punya DC tampak masih bingung pada cara memulai “kerajaan” mereka, ibarat konstruksi mereka belum menemukan pondasi yang bukan hanya kuat namun juga “tepat” untuk membangun konstruksi di atasnya. Alhasil dengan memiliki Batman dan Superman dalam satu film sebuah pertarungan gladiator terbesar dalam sejarah justru berakhir kurang maksimal.

Batman v Superman: Dawn of Justice seperti dipaksa untuk berlari kencang demi mengejar rival yang sudah berada jauh di depan. Won’t say ini sebuah sajian yang super buruk namun dengan segala macam kompleksitas yang ia punya dilengkapi pertarungan intens di bagian akhir film ini meninggalkan rasa yang sedikit unik, sebuah rasa ketika manis, pahit, hingga asam saling bercampur dan tidak ada satupun dari mereka yang terasa tajam. Jika Batman v Superman: Dawn of Justice ingin menghadirkan pendekatan yang lebih gelap dari apa yang dilakukan You-Know-Who seharusnya penonton bukan sekedar dicengkeram saja tapi diberi ketukan yang tepat, dari segi cerita dan daya tarik. Semangat film ini tinggi tapi daya tarik dan pesona cerita tidak stabil, bicara motivasi karakter ia minim sisi ketegangan dramatis juga terasa kurang nendang, dan itu hal yang salah karena sesungguhnya DC juga punya tugas lain yang tidak kalah pentingnya: mendapatkan penggemar baru.

Pendekatan “gelap” yang DC coba lakukan bukan sesuatu yang salah tapi mengapa mereka berakhir tidak maksimal karena tidak ada eksekusi yang tegas di dalamnya. Batman, Superman, hingga Wonder Woman, mereka tenggelam di dalam skenario yang terlalu sibuk membangun benang merah masalah karena tugas yang sejak awal memang sudah begitu banyak, usaha membedah superhero dengan menggunakan latar belakang yang suram sembari menampilkan misteri dari penjahat utama yang telah menanti di depan. Pada akhirnya memang berbagai masalah beserta keterkaitannya satu sama lain menjadi clear tapi ada rasa inkoherensi di dalamnya, disjointed dan meninggalkan makna yang kurang menarik. Bukan, bukan pada bagaimana hal super rumit diselesaikan dengan satu nama namun akibat Zack Snyder yang tidak mampu menciptakan rasa peduli yang kuat dari penonton terhadap karakter utama, sudah begitu di awal penonton disuruh memilih pula.

Di tangan Zack Snyder film ini tampil seperti sebuah presentasi bisnis, penonton hanya menyaksikan penggambaran tentang sebab dan akibat tanpa dirangkul untuk seolah ikut terlibat di dalam kepentingan yang dibawa oleh cerita. Script yang ditulis oleh Chris Terrio dan David S. Goyer memang tidak dapat dikatakan kuat pula, cerita tidak pernah mampu menjelaskan mengapa pertikaian antara Batman dan Superman tampak seperti sebuah masalah yang besar, perlahan hanya terasa seperti adu domba dari Lex Luthor. Cara Zack Snyder mengolah materi yang jadi kendala utama bagi Batman v Superman: Dawn of Justice untuk bersinar terang. Dari sinopsis yang menarik Snyder tidak menunggu lama, dengan cepat membangun motivasi lalu mengutak-atik cerita untuk menciptakan panggung perebutan gelar terbaik antara Batman dan Superman. Celakanya arah masalah tidak hanya dua, ada empat malah mungkin lebih, dan dari sana Snyder mulai tenggelam dalam ambisinya.

Ketika konflik mulai terasa kusut akibat editing yang lemah Snyder kembali gunakan kegemarannya pada kebisingan dan menghancurkan hal-hal untuk menyelesaikan masalah. Zack Snyder memang punya visi yang bagus dalam hal teknis dan harus diakui Batman v Superman: Dawn of Justice punya beberapa action sequence yang menonjol, pertarungan di bagian akhir itu luarbiasa. Nah, yang menjadi masalah adalah Snyder belum mampu menyuntikkan kegembiraan kedalam berbagai ledakan yang ia hasilkan, ia belum mampu menampilkan action sequence yang bukan sekedar “wow” saja tapi juga fun. Tidak heran Batman v Superman: Dawn of Justice terasa biasa karena ia lebih tertarik berusaha membuat penonton terpukau dengan mencengkeram dan kemudian memekakkan telinga mereka ketimbang mencoba menciptakan presentasi yang mampu menggetarkan hati dan emosi, sesuatu yang sesungguhnya di awal memiliki potensi sangat besar.

Lalu apa keunggulan Batman v Superman: Dawn of Justice? Ini berhasil menjadi sebuah kata pengantar yang oke, berhasil merangsang penonton untuk at least tertarik fase awal pada apa yang akan DC Extended Universe berikan di masa depan terutama dari film standalone Wonder Woman, The Flash, film berikutnya dari Batman dan juga Superman, dan tentu saja target terbesar mereka yang paling dekat, Justice League. Cerita menarik dalam presentasi kusut anehnya sulit pula untuk menolak terpukau dengan berbagai karakter di dalam cerita. Motivasi mereka memang kurang menarik, but heck yes Batman, Superman, Wonder Woman, Lex Luthor hingga Lois Lane (Amy Adams) berhasil mengikat atensi hingga akhir. Di sini Snyder sukses, sisi ikonik mereka ditampilkan dengan begitu electrifying meskipun seperti disebutkan sebelumnya rasa peduli pada eksistensi mereka minim.

Dan kesuksesan tersebut tidak lepas pula dari kinerja cast, banyak hal yang sangat baik muncul dari sektor ini. Henry Cavill berhasil membawa pesona Superman naik satu level, dan chemistry Cavill dengan Amy Adams juga baik, sama seperti koneksinya dengan Ben Affleck. Ben Affleck berhasil memukul banyak persepsi miring ketika dahulu ia dipilih untuk memerankan Bruce Wayne, ia berhasil menjadi miliarder playboy yang memiliki kedalaman yang kuat ketika menjadi The Dark Knight meskipun ia harus puas berada di posisi kedua ketika bersanding dengan Jeremy Irons. Pandangan skeptis dulu juga diperoleh Gal Gadot ketika dipilih sebagai Diana Prince/Wonder Woman, tapi di sini ia membuat Wonder Woman tampak luar biasa. Highlight dari bagian cast adalah Jesse Eisenberg, menampilkan Lex Luthor sebagai pria megalomania dengan kesan sosiopat yang terus menebar ancaman yang menarik.

Minim humor, terasa sesak, dan tampak terlalu serius bukan sesuatu yang salah dilakukan oleh Batman v Superman: Dawn of Justice melainkan cara mengolah pendekatan tadi yang kurang dipoles dengan tepat sehingga ini akan terkesan seperti presentasi bisnis untuk "menjual" action figure. Memiliki karakter dengan pondasi yang menarik serta sebuah pertempuran yang epic, Batman v Superman: Dawn of Justice merupakan sebuah kata pengantar yang oke namun berakhir sebagai “tawuran” yang incoherence akibat pengarahan dan skenario yang kurang mampu menggabungkan action dan cerita menjadi kombinasi yang tidak hanya menyengat penonton namun juga memberikan mereka petualangan dengan irama yang menarik. Terlalu dipaksa untuk berlari super kencang Warner Bros. harus menemukan “cara” baru agar di film-film DC Extended Universe selanjutnya pendekatan yang mereka coba gunakan bekerja dengan maksimal. This is a competition DC! Perbaiki!
Sumber
Batman%2Bv%2BSuperman%2BDawn%2Bof%2BJust

Batman%2Bv%2BSuperman%2BDawn%2Bof%2BJust

Batman%2Bv%2BSuperman%2BDawn%2Bof%2BJust

 link download

usercloud : download

       upfile : download

sub

download 

 






Deadpool (2016) BluRay + Subtitle Indonesia

Deadpool
(2016)


deadpoolbr.jpg


Deadpool adalah sebuah sajian superhero adaptasi dari komik Marvel yang punya satu jurusan dengan dunia X-Men. Proyeknya sendiri sebenarnya sudah direncanakan sejak sedekade silam, jauh sebelum karakter ciptaan Fabian Nicieza dan Rob Liefeld ini sempat mampir di X-Men Origins: Wolverine dengan porsi dan penampilan yang bisa dibilang kurang pantas. Tetapi baru dua tahun belakangan Fox benar-benar serius menghadirkan versi live action-nya. Tidak tanggung, Fox langsung memberi tempat Deadpool dalam universe X-Men mereka ketimbang hidup dalam kisahnya seorang diri meski sayang dengan bujet yang hanya sepertiga dari franchise superhero kebanggaan mereka itu. Jadi tidak usah heran jika kamu akan menemukan banyak sindiran kocak tentang X-Men di sini.

Tetapi sesungguhnya melabeli Deadpool sebagai seorang pahlawan super mungkin terasa kurang tepat, meski ia punya kekuatan lebih dalam hal bertarung baik dengan senjata maupun tangan kosong, serta kemampuan cepat sembuh ala Wolverine. Kamu mungkin lebih tepat menjulukinya dengan sebutan “anti-superhero” superhero karena selera humor dan mulutnya yang setajam dua bilah katana di punggungnya.

Satu hal yang pasti, ini adalah sajian yang superhero yang hebat dan super duper kocak, jauh melebihi ekspektasi sebelumnya. Jika kebetulan kamu sudah pernah melihat trailernya lebih dulu, percayalah, apa yang tersaji di sana hanya secuil kecil dari begitu banyak kegilaan dan kesenangan yang ditawarkan Deadpool. Tentu saja sebagai pahlawan ‘baru’ di dunia per-superhero-an layar lebar, khususnya dalam franchise X-Men, Deadpool butuh mengenalkan diri pada penonton non fanboy-nya yang awam tentang dirinya meski sebenarnya tim marketing dari Fox sudah melakukan pekerjaan fantastis di berbagai media.

Ya, kita tetap butuh sebuah origins, dalam kasus ini ada sebuah kisah cinta yang tersaji jauh sebelum ia menjadi film superhero dalam sebuah rangkaian flashback. Wade Wilson (Ryan Reynolds) ada tentara bayaran yang suatu hari terlibat hubungan asmara dengan Vanessa Carlysle (Morena Baccarin). Pertemuan kemudian menjadi cinta, tetapi belum sempat mereka menikmati kebersamaan lebih lama, Wade didiagnosa mengidap kanker stadium akhir yang lalu memaksanya pergi meninggalkan Vanessa untuk terlibat dalam sebuah percobaan dari seorang yang menamakan dirinya Francis Freeman (Ed Skrein).

Bisa ditebak, meski melewati siksaan fisik luar biasa, serum ciptaan Francis berhasil menyembuhkan Wade dari kankernya, tidak hanya itu, ia juga memberi Wade kekuatan super termasuk di dalamnya kemampuan untuk menyembuhkan diri dengan cepat, hanya saja efek sampingnya membuat tubuh dan wajah Wade menjadi rusak. Dari ini ia kemudian menjadi Deadpool, vigalante bertopeng yang menuntut balas kepada Francis Freeman yang sudah merusak hidupnya.

Menonton Deadpool berarti kamu harus mempersiapkan dirimu untuk menghadapi 108 menit penuh kejutan dan kegilaan yang seperti tanpa batas. Terakhir menonton gelaran superhero dengan dosis komedi tinggi adalah The Guardian of The Galaxy, tetapi Deadpool jelas adalah kasus yang berbeda. Siapa yang menyangka bahwa spesialis spesial efek yang didapuk menjadi sutradara macam Tim Miller ini bisa memberikan batasan begitu tinggi dalam menghadirkan sajian superhero komedi, bahkan ini adalah film pertamanya.

Miller seperti tahu benar bagaimana membawa spirit komiknya ke versi live action, membiarkan Ryan Reynolds bersenang-senang dengan segala aksi heroik dalam balutan lateks merah ketat plus mulut ‘sampah” guna menebus kesalahannya di masa lalu ketika ia sempat mengenakan seragam CGI hijau yang….ah, sudahlah. Sosok Deadpool jelas adalah pusat segalanya, tetapi tentu saja ia tidak bisa berdiri sendiri tanpa dukungan presentasi apik yang lagi-lagi sukses dibentuk Miller dalam sebuah konsep yang sama nyelenehnya dengan karakter utamanya.

Dengan banyaknya serbuan joke-joke segar berhamburan dari lidah tajam Wade Wilson bersama alter egonya, Deadpool adalah obat tawa mujarab efektif. Di beberapa kesempatan ia bahkan tidak malu mengolok-olok dirinya sendiri baik sebagai Deadpool maupun Ryan Reynolds. Beberapa sindiran konyol yang melibatkan dunia superhero mungkin hanya bekerja maksimal pada mereka yang sering menonton subgenre ini, misalnya saja ketika ia mengeluh tentang time line X-men yang membingungkan, atau kepada profesor siapa ia harus bertemu ketika ditarik paksa oleh Peter Rasputin a.k.a Colossus (Stefan Kapičić) dan tentu saja masih segudang penuh humor-humor yang muncul di saat-saat tak terduga yang siap menghajar syaraf tawamu.

Namun meski terlihat konyol dan tidak serius, Miller tidak pernah membuat Deadpool kehilangan sentuhan superhero yang keren. Setiap aksi Deadpool terlihat menawan dengan balutan spesial efek dan beberapa slowmotion yang meski tidak sampai terlalu bombastis karena keterbatasan biaya produksi namun hasilnya bisa tepat sasaran dan tidak berlebihan, belum saya menyebutkan sisi kebrutalan yang juga sukses diekspos Miller dengan penuh gaya.

Ryan Reynolds adalah alasan mengapa karakter Deadpool begitu hidup dan begitu cerewet. Dari menit pertama ia seperti tidak berhenti ngoceh di berbagai situasi yang sebenarnya termasuk kasual seperti di dalam taksi, laundry atau santai di rumah bersama temannya; seorang wanita tua buta. Reynolds Membombardir penontonnya dengan rentetan one-liner, ejekan-ejekan, dan metafora aneh yang sedikit banyak sudah membantu menutupi kekurangan pada plotnya yang sebenarnya klise untuk ukuran film superhero, termasuk juga kehadiran villain yang tidak hebat-hebat banget.
Sumber
deadpool-2016-movie-poster-4k-wallpaper.

deadpool-gallery-03.jpg

tumblr_inline_nrquudzC6X1qmqbpc_1280.png

link download

       uc : download 
tusfiles : download
  upfile : download

subtittle



Wednesday, March 30, 2016

Star Wars: The Force Awakens (2015) BluRay + Subtitle Indonesia


the-force-awakens.jpg

Membangunkan kembali salah satu franchise paling terkenal di bumi setelah tertidur selama sepuluh tahun bukan pekerjaan yang sulit, namun jika disertai dengan kewajiban untuk memperbaiki citra atau image yang sempat dibawa turun satu level oleh tiga buah prekuel adalah bukan sebuah tugas yang mudah. Seperti judul yang ia gunakan, The Force Awakens merupakan upaya kebangkitan yang dilakukan oleh Star Wars, memberikan perputaran dan nafas yang baru dan segar dengan mencampur old and new, sebuah nostalgia penuh sukacita bagi fans yang tetap mampu membuat penonton baru untuk jatuh cinta. Star Wars: The Force Awakens, a new hope in a new start.

Luke Skywalker (Mark Hamill) telah menghilang. Dalam ketidakhadirannya, First Order yang menyeramkan bangkit dari kekalahan the Empire dan tidak akan berhenti hingga Skywalker, the last Jedi, telah dihancurkan. Dengan dukungan dari the Republic, General Leia Organa (Carrie Fisher) memimpin Resistance. Leia berusaha keras menemukan kakaknya Luke dan mendapatkan bantuannya dalam memulihkan perdamaian dan keadilan bagi the galaxy. Leia mengirim pilotnya yang paling berani pada misi rahasia ke Jakku, di mana sekutu telah menemukan petunjuk tentang keberadaan Luke.

Namun di bawah komando Kylo Ren (Adam Driver), Stormtroopers berhasil menangkap pilot tadi, Poe Dameron (Oscar Isaac). Untung saja petunjuk yang ia peroleh berhasil Poe selamatkan dengan menaruhnya pada droid bernama BB-8, yang kemudian secara tidak sengaja bertemu dengan pemulung di Jakku bernama Rey (Daisy Ridley). BB-8 mengatakan pada Rey bahwa ia sedang mencari tuannya, Poe, dan kemudian marah ketika ia melihat jaket Poe dipakai oleh Finn (John Boyega). BB-8, Rey, dan Finn yang masih asing satu sama lain berusaha kabur dari kejaran First Order menggunakan the Millennium Falcon, namun celakanya mereka masuk ke dalam masalah yang tidak biasa.

Sepertinya J. J. Abrams lahir lewat sebuah proses science-fiction karena pria yang punya Armageddon, Super 8, Star Trek, dan tv-series seperti Lost dan Alias di filmografi miliknya ini seolah paham betul apa yang harus dilakukan untuk memuaskan penonton yang datang mencari sebuah sajian sci-fi. Kunci kesuksesan Star Wars: The Force Awakens memecahkan berbagai rekor box-office terletak pada kemampuan J. J. Abrams yang tahu bagaimana untuk tetap setia pada elemen klasik namun di sisi lain ikut mendorong elemen baru yang membawa nafas segar untuk masuk ke dalam galaksi. Sepintas Star Wars: The Force Awakens tampak hanya seperti kelanjutan episode enam namun ini adalah sebuah start baru bagi Star Wars, memperkenalkan Rey, Finn, Kylo Ren, hingga BB-8 yang dipilih menjadi generasi penerus namun tetap menempatkan karakter lama sebagai kunci di pusat cerita dengan penuh hormat.

Hasilnya seperti yang disebutkan di awal tadi ini menjadi pesta bagi fans setia namun dengan cerdik dan cerdas mampu menarik atensi penonton baru untuk jatuh cinta padanya. Star Wars: The Force Awakens memang masih menghadirkan berbagai action sequence fantastis yang tentu saja menjadi salah satu jualan utamanya, namun di sini mereka tidak menjadi fokus utama melainkan jantung dari cerita. Memakai proses pencarian Luke banyak hal yang berhasil dikembangkan oleh J. J. Abrams bersama Lawrence Kasdan dan Michael Arndt di sektor cerita, dari terampil memperkenalkan karakter baru yang appealing tanpa menciptakan kesan annoying serta membawa kisah yang telah eksis untuk tumbuh dengan bertumpu pada sebuah drama keluarga, dan semua mereka satukan dalam alur yang pada dasarnya merupakan daur ulang peristiwa dari film pertama, A New Hope.

Sangat senang Star Wars: The Force Awakens meninggalkan skenario penuh intrik "politik" yang dilakukan prekuel lalu kemudian memilih untuk kembali pada ketukan yang diciptakan tiga film pertamanya. Sama seperti A New Hope film ketujuh ini menggunakan konsep mencari arah dari sekelompok anak muda di dalam dunia yang sedang kehilangan pahlawan sebagai pondasi utamanya. Sangat suka dengan hubungan antara Rey dan Finn, mereka membentuk dasar yang sangat tepat bagi The Force Awakens, Finn dan Rey merupakan sosok “minor” di alam semesta, hidup susah dan putus asa, lalu berikan mereka jalan untuk mengerti pada potensi yang mereka miliki dengan cara yang serius namun santai sembari tetap menjaga gema dari kisah asli yang bermain dengan masalah warisan dan konsekuensi.

Petualangan lintas generasi, itu yang menjadi charm utama Star Wars: The Force Awakens. Segala sesuatu berlangsung cepat, dari drama hingga action, bahkan unsur komedi juga memilih untuk tampil dengan one punch humor yang sangat sedikit berakhir gagal, namun J. J. Abrams terampil dalam menyusun struktur presentasi sehingga banyak hal di dalam cerita tidak menimbulkan tabrakan dan dapat terus bergerak cepat. Ya, gerak cepat itu yang berhasil menjadikan cerita yang sebenarnya tidak istimewa itu terasa menyenangkan untuk diikuti, kekacauan berisikan kegembiraan dan melodrama yang manis. Berbicara tentang drama cara J. J. Abrams menampilkan emosi dari karakter juga oke, terasa cair dan tidak kaku meskipun seperti diupayakan agar tidak terlalu “eksplisit” dalam penyampaiannya.

Terlepas dari penyutradaraan J. J. Abrams, cerita yang bekerja dengan efektif, visual yang fantastis, dan tentu saja score mengasyikkan dari John Williams yang memberikan eargasm, kinerja akting memberikan kontribusi yang tidak kalah besar. Dari karakter lama efek kejut ketika mereka hadir sangat manis, Harrison Ford dan Carrie Fisher benar-benar sukses menampilkan kembali pesona mereka yang selama ini penonton kagumi. Oh, Chewbacca juga. Dan karakter baru layak mendapatkan kredit yang sama besar. Adam Driver meneruskan sisi hitam cerita menjadi tampak menjanjikan, dan Oscar Isaac menjadi jembatan yang baik di awal. John Boyega tampil lucu dengan sangat alami, sebuah performa yang seperti “in your face” kepada penonton yang gemar dengan rasisme. And thanks God for Daisy Ridley. Daisy Ridley is a revelation. Star Wars is in great hands!

Dan yang terakhir, hal yang mungkin akan menjadi pertanyaan menarik bagi penonton baru: apakah sebelum menonton Star Wars: The Force Awakens saya harus menonton terlebih dahulu enam film sebelumnya? Star Wars: The Force Awakens seperti di set untuk tidak menaruh beban yang begitu berat pada cerita, jika anda lepaskan sejarah dari karakter lama ini akan menjadi sebuah action movie yang begitu familiar. Tapi hal terakhir tadi tidak boleh anda lakukan! Salah satu hal paling menarik yang menjadi sensasi terbesar dari film ini adalah ketika penonton bertemu kembali dengan orang-orang yang telah lama mereka kenal. Anda bayangkan sebuah reuni, tentu akan jauh lebih menarik ketika anda bertemu kembali dengan sahabat yang telah akrab dengan anda ketimbang teman-teman yang di antara anda dan dia hanya sebatas tahu nama. Anda bisa tinggalkan prekuel, namun tidak dengan Star Wars, The Empire Strikes Back, dan Return of the Jedi.

Overall, Star Wars: The Force Awakens adalah film yang memuaskan. Seperti sebuah kalimat dari Han Solo, “Chewie, we're home,” Star Wars: The Force Awakens berhasil menyajikan kembali “rumah” dari petualangan luar angkasa, space opera yang memiliki liku-liku di cerita namun terus mendorong kejutan dan reuni sebagai pemuas dahaga penonton lama, dan sebagai senjata untuk membuat penonton baru jatuh cinta. Tetap bermain di area yang familiar bagi penontonnya, J. J. Abrams bukan hanya sekedar berhasil meluruskan kembali gerak franchise Star Wars dan membawanya ke jalan yang “benar,” ia juga berhasil menciptakan sebuah transisi, sebuah jembatan antara old and new dari Star Wars dengan mengandalkan semangat dari Star Wars itu sendiri, sebuah petualangan yang heboh, visual dan score yang epik, baik melawan jahat, dan semua ditopang oleh drama dengan emosi, jiwa, dan charms yang pernah George Lucas gunakan untuk membuat tiga film pertamanya terasa istimewa.
Sumber


link

uc : download 
tf : download 
uf : download 

subtittle



Deadpool (2016) HC HDRip + Subtitle Indonesia

Deadpool (2016) HC HDRip + Subtitle Indonesia


deadpoolhchd.jpg


Deadpool adalah sebuah sajian superhero adaptasi dari komik Marvel yang punya satu jurusan dengan dunia X-Men. Proyeknya sendiri sebenarnya sudah direncanakan sejak sedekade silam, jauh sebelum karakter ciptaan Fabian Nicieza dan Rob Liefeld ini sempat mampir di X-Men Origins: Wolverine dengan porsi dan penampilan yang bisa dibilang kurang pantas. Tetapi baru dua tahun belakangan Fox benar-benar serius menghadirkan versi live action-nya. Tidak tanggung, Fox langsung memberi tempat Deadpool dalam universe X-Men mereka ketimbang hidup dalam kisahnya seorang diri meski sayang dengan bujet yang hanya sepertiga dari franchise superhero kebanggaan mereka itu. Jadi tidak usah heran jika kamu akan menemukan banyak sindiran kocak tentang X-Men di sini.

Tetapi sesungguhnya melabeli Deadpool sebagai seorang pahlawan super mungkin terasa kurang tepat, meski ia punya kekuatan lebih dalam hal bertarung baik dengan senjata maupun tangan kosong, serta kemampuan cepat sembuh ala Wolverine. Kamu mungkin lebih tepat menjulukinya dengan sebutan “anti-superhero” superhero karena selera humor dan mulutnya yang setajam dua bilah katana di punggungnya.

Satu hal yang pasti, ini adalah sajian yang superhero yang hebat dan super duper kocak, jauh melebihi ekspektasi sebelumnya. Jika kebetulan kamu sudah pernah melihat trailernya lebih dulu, percayalah, apa yang tersaji di sana hanya secuil kecil dari begitu banyak kegilaan dan kesenangan yang ditawarkan Deadpool. Tentu saja sebagai pahlawan ‘baru’ di dunia per-superhero-an layar lebar, khususnya dalam franchise X-Men, Deadpool butuh mengenalkan diri pada penonton non fanboy-nya yang awam tentang dirinya meski sebenarnya tim marketing dari Fox sudah melakukan pekerjaan fantastis di berbagai media.

Ya, kita tetap butuh sebuah origins, dalam kasus ini ada sebuah kisah cinta yang tersaji jauh sebelum ia menjadi film superhero dalam sebuah rangkaian flashback. Wade Wilson (Ryan Reynolds) ada tentara bayaran yang suatu hari terlibat hubungan asmara dengan Vanessa Carlysle (Morena Baccarin). Pertemuan kemudian menjadi cinta, tetapi belum sempat mereka menikmati kebersamaan lebih lama, Wade didiagnosa mengidap kanker stadium akhir yang lalu memaksanya pergi meninggalkan Vanessa untuk terlibat dalam sebuah percobaan dari seorang yang menamakan dirinya Francis Freeman (Ed Skrein).

Bisa ditebak, meski melewati siksaan fisik luar biasa, serum ciptaan Francis berhasil menyembuhkan Wade dari kankernya, tidak hanya itu, ia juga memberi Wade kekuatan super termasuk di dalamnya kemampuan untuk menyembuhkan diri dengan cepat, hanya saja efek sampingnya membuat tubuh dan wajah Wade menjadi rusak. Dari ini ia kemudian menjadi Deadpool, vigalante bertopeng yang menuntut balas kepada Francis Freeman yang sudah merusak hidupnya.

Menonton Deadpool berarti kamu harus mempersiapkan dirimu untuk menghadapi 108 menit penuh kejutan dan kegilaan yang seperti tanpa batas. Terakhir menonton gelaran superhero dengan dosis komedi tinggi adalah The Guardian of The Galaxy, tetapi Deadpool jelas adalah kasus yang berbeda. Siapa yang menyangka bahwa spesialis spesial efek yang didapuk menjadi sutradara macam Tim Miller ini bisa memberikan batasan begitu tinggi dalam menghadirkan sajian superhero komedi, bahkan ini adalah film pertamanya.

Miller seperti tahu benar bagaimana membawa spirit komiknya ke versi live action, membiarkan Ryan Reynolds bersenang-senang dengan segala aksi heroik dalam balutan lateks merah ketat plus mulut ‘sampah” guna menebus kesalahannya di masa lalu ketika ia sempat mengenakan seragam CGI hijau yang….ah, sudahlah. Sosok Deadpool jelas adalah pusat segalanya, tetapi tentu saja ia tidak bisa berdiri sendiri tanpa dukungan presentasi apik yang lagi-lagi sukses dibentuk Miller dalam sebuah konsep yang sama nyelenehnya dengan karakter utamanya.

Dengan banyaknya serbuan joke-joke segar berhamburan dari lidah tajam Wade Wilson bersama alter egonya, Deadpool adalah obat tawa mujarab efektif. Di beberapa kesempatan ia bahkan tidak malu mengolok-olok dirinya sendiri baik sebagai Deadpool maupun Ryan Reynolds. Beberapa sindiran konyol yang melibatkan dunia superhero mungkin hanya bekerja maksimal pada mereka yang sering menonton subgenre ini, misalnya saja ketika ia mengeluh tentang time line X-men yang membingungkan, atau kepada profesor siapa ia harus bertemu ketika ditarik paksa oleh Peter Rasputin a.k.a Colossus (Stefan Kapičić) dan tentu saja masih segudang penuh humor-humor yang muncul di saat-saat tak terduga yang siap menghajar syaraf tawamu.

Namun meski terlihat konyol dan tidak serius, Miller tidak pernah membuat Deadpool kehilangan sentuhan superhero yang keren. Setiap aksi Deadpool terlihat menawan dengan balutan spesial efek dan beberapa slowmotion yang meski tidak sampai terlalu bombastis karena keterbatasan biaya produksi namun hasilnya bisa tepat sasaran dan tidak berlebihan, belum saya menyebutkan sisi kebrutalan yang juga sukses diekspos Miller dengan penuh gaya.

Ryan Reynolds adalah alasan mengapa karakter Deadpool begitu hidup dan begitu cerewet. Dari menit pertama ia seperti tidak berhenti ngoceh di berbagai situasi yang sebenarnya termasuk kasual seperti di dalam taksi, laundry atau santai di rumah bersama temannya; seorang wanita tua buta. Reynolds Membombardir penontonnya dengan rentetan one-liner, ejekan-ejekan, dan metafora aneh yang sedikit banyak sudah membantu menutupi kekurangan pada plotnya yang sebenarnya klise untuk ukuran film superhero, termasuk juga kehadiran villain yang tidak hebat-hebat banget.

sumber

link 

uc : download 
tf : download 
up : download 

subtittle

Ice Age: The Great Egg-Scape (2016) WEB-DL + Subtitle Indonesia

Ice Age: The Great Egg-Scape
(2016)





 the-great-egg-scapade.jpg
 When Sid takes a job as an egg nanny, he's unaware an old enemy has plans of his own. The shenanigans lead to the first egg hunt and creation of popular Easter traditions.
Sumber

link
uc : download 
tusfiles : download 
upfile : download 


subtittle

Batman v Superman: Dawn of Justice (2016) CAM + Subtitle Indonesia

Batman v Superman: Dawn of Justice (2016) CAM + Subtitle Indonesia

 

 

 batman-v-superman.jpg

 

 It’s happening! Ya, waktu berlalu begitu cepat, tak terasa sudah tiga tahun lamanya sejak Warner Bros mengejutkan jagat per-superhero-an dengan mengumumkan proyek sekuel Man of Steel, kini mimpi basah buat setiap fanboy komik dunia, khususnya DC Comics akhirnya benar-benar kejadian. Batman v Superman: Dawn of Justice sudah datang, membawa segala hype luar biasa sejak konfrensi pers Zack Snyder di ajang San Diego Comic-Con Internasional 2013 silam. Snyder mengatakan bahwa seri lanjutan Man of Steel ini bukan sembarang sekuel, ia akan menjadi sebuah sekuel nan epik karena untuk pertama kalinya dua raksasa DC (Superman dan Batman) bertemu dan baku hantam dalam satu universe.

Ya, hype-nya begitu besar diiring dengan harapan yang juga semakin besar. Dari kejutan kemunculan Batman dalam sekuel Superman, casting Ben Affleck sampai Woder Woman-nya Gal Gadot, berita-berita baru tentang BvS selalu menjadi bahan diskusi menarik buat para moviegoers dunia yang menghitung hari demi hari untuk menunggu kemunculan utuhnya setelah sebelumnya diberondong trailler-trailler menggiurkan tanpa pernah benar-benar menyadari bahwa langkah drastis yang diambil Warner Bros dan Snyder ini adalah sebuah perjudian luar biasa dengan taruhan yang sama luar biasanya. Efeknya nanti, berhasil atau tidak, tidak hanya berimbas pada franchise Superman itu sendiri saja namun juga Batman, Justice League dan masa depan adaptasi DC Comics dalam usaha mereka untuk setidaknya bisa mendekati pekerjaan fantastis yang sudah dibuat rivalnya, Marvel dengan MCU-nya yang super solid itu.

Separuh cerita lanjutan Man of Steel dan separuh prolog buat Justice League, BvS memulai segalanya dengan kembali sedikit mengulang origins Batman sebelum kita menyaksikan bagaimana kehancuran Metropolis di klimaks akhir Man of Steel ternyata berpengaruh besar buat banyak orang, salah satunya adalah Bruce Wayne (Ben Affleck) yang menyaksikan dengan mata sendiri bagaimana duel Superman dan Zod memakan begitu banyak korban jiwa. Dari peristiwa ini Bruce Wayne kemudian melihat bahwa Superman bisa menjadi ancaman besar buat manusia dan kemudian terobsesi untuk menghentikan sepak terjang si manusia besi yang dipuja-puja bak Tuhan oleh umat manusia itu. Masalahnya bukan hanya kehadiran Superman saja yang menjadi kontroversial, di tempat lain ada ancaman yang sudah menunggu diam-diam, datang dari sosok milliuner cerdas, Lex Luthor (Jesse Eisenberg).

Kita mengenal Zack Snyder adalah sutradara yang piawai memanfaatkan CGI dalam mengolah visual artistik dan adegan-adegan aksi bombastis yang cantik, tetapi sayang ia bukan pencerita yang baik tidak peduli di belakangnya ada nama-nama besar macam Chris Terrio (Argo) dan David S. Goyer (trilogi The Dark Knight), jika ada satu filmnya yang paling bagus dalam bercerita mungkin itu adalah Watchman, sisanya ia tidak lebih dari sutradara yang gemar mengeksploitasi layar hijau dan gambar-gambar bagus, termasuk Man of Steel dan BvS ini. Ya, durasinya yang menyentuh dua jam setengah seharusnya lebih dari cukup buat Synder untuk menghasilkan sebuah narasi yang bagus. apalagi ia punya modal premis yang begitu kuat dengan melibatkan dua superhero paling besar di jagat raya termasuk segala filosofi God vs man-nya, tetapi Snyder tetaplah Snyder, BvS tidak lebih baik dari Man of Steel dari segi penceritaan. Ini bisa dibilang berantakan, membingungkan dan tidak bersinergi dengan konsep dan universe-nya. Misalnya saja tentang Batman yang digambarkan sudah tua, sudah 20 tahun kata Alfred Pennyworth (Jeremy Irons) namun sepertinya tidak ada yang mengetahui sepak terjang sang manusia kelelawar itu sama sekali padahal di sini di gambarkan lokasi Gotham dan Metropolis hanya bersebelahan. Tidak ada yang tahu bagaimana Lex Luthor bisa tahu segalanya, sampai-sampai mampu menyusup ke markas Batman hanya untuk mencoret seragam dan surat-suratnya dan berbagai plot hole lainnya yang lumayan akan menyentil logikamu.

Sisanya, paruh pertama bergerak begitu lurus dan membosankan dengan karakter-karakter yang berbicara tanpa dukungan dialog kuat tanpa adanya kedalaman dan interaksi satu sama lain yang berarti meski potensi untuk membuatnya menjadi lebih kompleks ala The Dark Knight milik Nolan dengan segala elemen politik, moral dan pencarian jati diri. Plotnya terasa acak, melompat satu tempat ke tempat lain dengan kasar, tidak dijahit dengan rapi untuk bisa membentuk sebuah kesatuan cerita yang solid dan yang satu hal yang pasti, aromanya kelewat serius dan kelam, ini akan mengecewakan penonton muda yang berharap akan banyak gelaran seru sejak awal, jadi jangan bandingkan BvS dengan superhero buatan Marvel yang mampu tampil serius dan santai sama hebatnya, DC dan Warner Bros masih harus banyak belajar lagi soal ini untuk bisa memenangkan pertempuran yang berat sebelah ini.

Jika ada kekuatan yang menonjol di sini mungkin itu berkat casting yang kuat. Awalnya banyak yang memandang sebelah mata pemilihan Ben Affleck sebagai Batman, tetapi apa yang terjadi di lapangan berkata lain. Ya, Batman versi Affleck tentu saja berbeda, ia punya pesona berbeda dengan Batman versi sebelumnya, ia lebih brutal, lebih kuat secara fisik meski digambarkan usianya sudah tidak muda lagi, seperti kata Alfred, “Even You’ve too old to die young”, bahkan kalau mau jujur, BvS terasa lebih berenergi di setiap kemunculan si kelelawar ini namun bukan berarti kita bisa menyampingkan Henry Cavill dengan Superman-nya. Faktanya ini masih film Superman dan ia masih menjadi hati terbesar buat ceritanya. Di atas kertas seharusnya Snyder bisa mengeksplorasi lebih jauh lagi soal kegalauan sang jagoan, bagaimana ia harus menghadapi situasi sulit yang membuatnya harus mengambil keputusan berat termasuk cintanya dengan Louis Lane (Amy Adams), sayang itu tidak terjadi setidaknya tidak dilakukan dengan baik. Jika Affleck harus mendapat cibiran ketika pemilihannya sebagai Batman pertama kali, nasib berbeda yang dialami Gal Gadot yang langsung dipuja-puja meski ada yang mengatakan dirinya masih kurang montok untuk memerankan karakter Diana Prince, toh, pemeran Gisele Yashar dalam franchise Fast & Furious ini berhasil menjadi screen stealer di sini. Satu hal yang mengganggu di sini mungkin Lex Luthor-nya Jesse Eisenberg yang annoying. Bukan berarti Eisenberg tidak cocok memerankan sosok villiant masalahnya ia terlalu banyak bicara dan ia bukan Joker dan segala kecerewetannya itu sangat mengesalkan.

Dan seperti yang dilakukannya dalam Man of Steel, Snyder menaruh segala kesenangannya di akhir film, ya, percayalah 30-45 menit akhir itu adalah bagian terbaik BvS, terutama ketika Woder Woman datang dengan begitu dramatis dan mengesankan dalam iring-iringan scoring mengelegar Hans Zimmer dan Junkie Xl, sedikit disayangkan sudah tidak lagi mengejutkan karena telah diobral di trailer sebelumnya. Adegan pertempuran klimaksnya luar biasa dahsyat, membuat air liurmu menetes karena takjub, kemunculan Doomsday benar-benar menghasilkan kerusakan luar biasa bagi para pahlawan super kita yang harus bahu membahu mengalahkannya. Snyder tahu benar bagaimana mengolah setiap adegannya dengan bombastis, menghasilkan sebuah keseruan luar biasa yang sedikit banyak sudah mengobati kekecewaan di paruh pertamanya, bagi pembaca komiknya tentu saja sudah bisa sedikit menebak apa yang terjadi di akhir ketika Snyder memilih memunculkan sosok Doomsday, tetapi ini cukup puas dengan ending-nya yang emosional dan di saat bersamaan, sudah memberi dasar kuat buat kehadiran Justice League nanti.

 sumber 

 

link download

 

usercloud : download 

tusfiles :  download

upfile : download


subtittle

coming soon

Sunday, November 15, 2015

DARK Full Repack

DARK Full Repack merupakan sebuah game yang baru saja dirilis tepat tanggal 4 Juli 2013 lalu . Jika dihitung dari sekarang , bahkan game yang satu ini belum bulat 1 bulan lho umurnya hehe. Dengan umur yang singkat itu , game ini mampu meraih peminat yang sangat tinggi lho sob. Grafik yang bagus juga menjadi daya tarik tersendiri game ini menjadi laris . Dalam game DARK ini , sobat berperan sebagai seorang pria bernama Eric yang mempunyai kekuatan supranatural seperti teleportasi dan sihir lainnya. Pemain Eric ini mempunyai tugas menjalankan tugas melawan para musuh sambil menjalankan misi rahasia .
Screenshot :

Link Download :
Cara Install :
  • Letakkan semua part dalam 1 folder kemudian Extract dengan Winrar
  • Jalankan setup.exe kemudian install seperti biasa
  • Jika ada layar Command Prompt , biarkan saja dan jangan di close
  • Tunggu hingga ada notice selesai instalasi
  • Done
Minimum System Requirements:
  • CPU : 2.0 GHz Dual Core
  • RAM : 2 GB RAM
  • VGA : NVIDIA GeForce 9600 GT / ATI Radeon HD 4670 / Intel HD Graphics 4000, with 512 MB dedicated RAM
  • OS : Windows XP SP2
  • HDD : 5 GB HD space
  • Sound : DirectX compatible sound card
NB : Scan Result MSE : 100% Clean , Tested Windows 7 64Bit